Ras Etnis dan Gender dalam Pemahaman Alkitab. Dalam Roma 10:12, Rasul Paulus menulis, "Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya.". Pernyataan Paulus ini tentu sangat mengejutkan orang pada waktu itu, mengingat orang
Bersama TPB Disusun oleh JESSICA STEPHANIE MS 140410170066 PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJADJARAN SUMEDANG 2018 II KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan kasih karunia-Nya, atas anugerah hidup dan kesehatan yang tak henti-hentinya penyusun terima, serta petunjuk-Nya sehingga memberikan kemampuan dan kemudahan serta pengertian bagi penyususn dalam penyusunan makalah yang berjudul "Pandangan Alkitab Tentang Kesetaraan Bagi Penyandang Disabilitas" Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tahapan Persiapan Bersama Dalam makalah ini akan mengulas tentang penyandang disabilitas dan pandangan alkitab terhadap penyandang disabilitas yang mengangkat topik dari Sustainable Development Goals , tujuan nomor 10 yaitu Reduced Inequalities. Atas bantuan, dorongan serta dukungan dari berbagai pihak, baik secara moral maupun material, maka segala...D GERAKAN REFORMASI SOSIAL KEAGAMAAN UNTUK KESETARAAN GENDER ABAD ABAD KE-20. Dalam masyarakat patrilneal dan androsentris, sejak awal peran gender seorang anak laki-laki lebih dominan dibanding anak perempuan. Kalau orang Kristen memahami konsep Alkitab tentang wanita, pasti tidak perlu ada gerakan feminisme dalam masyarakat Kristen
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.” Disebutkan dalam ayat ini, penciptaan manusia berasal dari seorang laki-laki dan perempuan. Zamakhshari, Razi dan Baydhawi, sebagaimana diungkapkan Muhammad Asad dalam The Message of the Quran, menjelaskan manusia diciptakan Allah dari seorang ayah dan ibu. Artinya, kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama manusia, laki-laki maupun perempuan. Refleksi lain ayat di atas ialah manusia secara keseluruhan membentuk sebuah keluarga global. Sehingga, sebetulnya tidak perlu ada semacam superioritas satu golongan atau bangsa terhadap yang lainnya. Di sini, semangat moral ayat di atas menegaskan tidak adanya superioritas yang satu dengan yang lainnya. Keduanya makhluk Allah yang saling dimuliakan Pencipta-Nya. Untuk itu Tuhan menyatakan keturunan Adam itu telah dimuliakan QS al-isra 70 dengan tingkat intelektualitas juga kecakapan memilih QS Al-Baqarah 31-35. Dari penjelasan di atas kita bisa simpulkan bahwa Alquran menawarkan equalitas laki-laki dan perempuan. Sayangnya, ayat-ayat itu pamornya terkalahkan beberapa ayat Alquran yang juga sering diartikan sebagai landasan inferioritas perempuan. Salah satu ayat yang sering jadi rujukan adalah ayat ke-34 surat an-Nisa الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” Perkataan qowwamun sering diartikan sebagai pemimpin. Konsekuensinya ayat ini memposisikan yang memimpin dengan yang dipimpin. Penafsiran ini tidak salah. Tapi masalahnya, kalau ekspresi itu dijadikan landasan ketidaksejajaran laki-laki dengan perempuan, sudah tentu merupakan sebuah upaya untuk menggeneralisasi misi Alquran. Dan yang disayangkan, penafsiran itu kemudian diwariskan dari generasi ke generasi dengan formula bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan. Padahal perkataan qawwam, sebagaimana dijelaskan penafsir kontemporer Asad, berarti seseorang yang bertanggung jawab untuk memelihara barang maupun orang. Kalimat ''qama 'ala mar'ihi'' bermakna ''dia bertanggung jawab mengayomi seorang perempuan.'' Jadi, laki-laki bertanggung jawab mengayomi perempuan yang menjadi bagian dari tanggung jawabnya dan tidak ada hubungannya dengan satu pihak lebih superior dari pihak lainnya. Ayat yang juga rujukan bagi superioritas laki-laki adalah surat Ali Imran ayat 36. فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَىٰ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىٰ ۖ وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ “Maka tatkala istri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada pemeliharaan Engkau daripada syaitan yang terkutuk". Di situ dikisahkan ketika istri Imran hamil dia berniat menadharkan anaknya untuk mengabdikan diri pada Allah. Ternyata anak yang lahir perempuan, bukan laki-laki seperti yang diharapkan. Namun yang terpenting dari ayat ini adalah ungkapan ''tiadalah laki-laki sama dengan perempuan.'' Kata-kata terakhir ini telah menjadi mitos tersendiri di kalangan umat Islam bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Padahal kalau dicermati lebih dalam makna penggalan ayat itu memiliki semangat moral yang lebih berarti dari sekadar kata-kata yang termaktub di situ. Muhammad Asad cf. 25 misalnya menjelaskan implikasi tersebut bahwa Maryam, meski perempuan, memiliki keutamaan jauh lebih besar dibanding kelahiran laki-laki yang pernah diimpikan sang ibu. Dari interpretasi ayat itu, tak sedikit pun menyinggung bahwa kedudukan perempuan lebih rendah atau lebih tinggi. sumber Harian Republika
Adapunayat-ayat Alkitab yang menjelaskan tentang kesetaraan gender dapat ditemukan dalam Kejadian 34:12; Keluaran 21:7; Imamat 12:1-5; Ulangan 24:1-4; Samuel 18:25; Nehemia 6:14.15 Galatia 3:28
This article is an intellectual response to the feminists' contention that gender is a social construct, hence it can be changed and reconstructed accordingly. It argues that gender is God-given, which means that it is the natural dispositions and characters bestowed by God along with the physical appearances, which in Islamic tradition are called fiṭrah and sunnatullāh. By advocating the idea that gender is man-made and not God-given, the feminists have opened the door of confusion, reconstruction and corruption of not only the meaning of gender but also other fundamental concepts in the social system, such as qiwāmah or men leadership. Moreover, the feminists' idea of gender equality musāwāh indirectly dismissed the different natural disposition fiṭrah between men and women for a notion of equality which is assumed to be synonymous with justice. Nevertheless, the Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 33 KONSEP KESETARAAN GENDER MENURUT PERSPEKTIF ISLAM DAN BARATTHE CONCEPT OF GENDER EQUALITY IN ISLAM AND THE WEST Khalif Muammar A. Harris, Adibah Muhtar RZS-CASIS. Faculty of Social Science & Humanities. Universiti Teknologi Malaysia. 54100. Kuala Lumpur. Malaysia. Academy of Islamic Civilization. Faculty of Social Science & Humanities. Universiti Teknologi Malaysia. 54100. Kuala Lumpur. Malaysia. Email khalif DOI Abstract This article is an intellectual response to the feminists’ contention that gender is a social construct, hence it can be changed and reconstructed accordingly. It argues that gender is God-given, which means that it is the natural dispositions and characters bestowed by God along with the physical appearances, which in Islamic tradition are called fiṭrah and sunnatullāh. By advocating the idea that gender is man-made and not God-given, the feminists have opened the door of confusion, reconstruction and corruption of not only the meaning of gender but also other fundamental concepts in the social system, such as qiwāmah or men leadership. Moreover, the feminists’ idea of gender equality musāwāh indirectly dismissed the different natural disposition fiṭrah between men and women for a notion of equality which is assumed to be synonymous with justice. Nevertheless, the Kajian ini merupakan output dari Fundamental Research Grant 2018, KPM-UTM PY/2018/03814, “Pembangunan Model Pemerkasaan Wanita Malaysia Berasaskan Kerangka Konstruksi Gender Gender Construct Menurut Islam”. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 34 occurrence of misinterpretation in the works and practices of the conservative Pseudo-Salafi, which, among other things imposes niqāb and burqa on women makes the advocacy and struggle of the Muslim feminists for equality between men and women seems justified and legitimate. Contrary to Western experience, Muslim societies have already been introduced to gender justice and respect for women in a manner never known before. The dissemination of feminists’ ideas among Muslims is indeed loaded with colonial agenda and causes more confusion in the minds of Muslims. Keywords gender equality; musāwāh; qiwāmah; feminism; fiṭrah; Islamic tradition. Khulasah Artikel ini merupakan sanggahan ilmiah terhadap dakwaan golongan feminis bahawa gender adalah binaan masyarakat social construct yang ditentukan oleh manusia dan boleh berubah-ubah. Sebaliknya, ia menegaskan bahawa gender merupakan suatu ketentuan Tuhan, yakni sifat-sifat pembawaan dan kecenderungan semulajadi yang dikurniakan oleh Tuhan sama seperti sifat-sifat fizikal, yang di dalam agama Islam dikenali dengan fitrah dan sunnatullāh. Dengan meletakkan manusia sebagai penentu kepada gender dan bukannya Tuhan, feminisme bukan sahaja telah mencetuskan kecelaruan dalam faham gender bahkan membuka ruang kepada perombakan dan kerosakan makna terhadap konsep-konsep asasi lain dalam sistem sosial, seperti qiwāmah atau kepimpinan lelaki ke atas wanita. Melalui idea kesetaraan gender musāwāh, feminis menolak perbezaan fiṭrah lelaki dan perempuan demi kesamarataan yang dianggap sama dengan keadilan. Kewujudan salah tafsiran kelompok konservatif Pseudo-Salafi dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam berkaitan wanita menyebabkan kemunculan aktivis feminis Muslim yang memperjuangkan agenda pembebasan wanita dan kesetaraan gender secara mutlak mengikut Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 35 acuan Barat. Hakikatnya, berbanding Barat, masyarakat Islam sejak zaman Rasulullah telah mengenal konsep keadilan gender dan penghormatan terhadap wanita yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Justeru penyebaran idea-idea feminisme di kalangan masyarakat Islam selain membawa agenda kolonialisme juga menimbulkan lebih banyak kecelaruan pemikiran di kalangan orang Islam. Kata kunci kesetaraan gender; musāwāh; qiwāmah; feminisme; fiṭrah; tradisi Islam. Pengenalan Agama Islam dan Kristian bersepakat bahawa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah SWT di syurga, sebelum diturunkan ke Bumi. Bahkan kedua sumber suci Islam dan Kristian juga menyebut tentang penciptaan Hawa daripada Adam. Meskipun Bible ada menyebut bahawa Hawa Eve diciptakan daripada tulang rusuk,dan cerita yang sama ada disebutkan dalam sebuah hadith, namun para ulama’ berpendapat bahawa perkataan daripada tulang rusuk min ḍilʻ tidak harus difahami secara harfiah akan tetapi perlu difahami secara kiasan atau majāzī metaphorical, iaitu bahawa wanita diciptakan seperti Sila lihat Bible, Kejadian, 220-25, Hadith Rasulullah yang bermaksud “Nasihatilah para wanita dengan baik, kerana wanita diciptakan daripada tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok daripada tulang rusuk itu adalah pangkalnya, jika kamu cuba untuk meluruskannya maka ia akan patah, namun bilamana kamu biarkan ia maka ia akan tetap bengkok, untuk itu, nasihatilah para wanita dengan baik”, hadith riwayat al-Bukhari, no. 3331, Muslim Hadith no. 3632. Lihat huraian al-Nawawi dan Ibn Hajar tentang hadith ini berbeza dengan tafsiran harfiah yang dikemukakan oleh Ibn Kathir. Al-Nawawi, Sharḥ Ṣaḥīh Muslim Beirut Dar al-Marifah, 1998, 10299; Ibn Hajar al-Asqalani, Fatḥ al-Bārī Riyadh Dar al-Salam, 6444. Untuk perbahasan lanjut tentang hadith ini sila lihat makalah penulis, “Wacana Kesetaraan Gender Islamis versus Feminis Muslim” dalam Atas Nama Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 36 tulang rusuk yang bengkok sehingga menuntut kebijaksanaan kaum lelaki agar hakikat wanita yang berlainan tabi’inya itu dapat ditangani dengan lemah lembut dan berhemah kerana tindakan yang kasar dan memaksa boleh menyebabkan kaum wanita patah dan tidak dapat diperbetulkan lagi. Lebih dari itu, suatu hal yang tidak diterangkan dalam agama Kristian, al-Qur’an juga menjelaskan bahawa lelaki dan wanita diciptakan daripada satu jiwa min nafsin wāḥidah. Mereka umpama dua sisi dari duit syiling yang sama. Ini memberi isyarat bahawa keduanya memerlukan satu sama lain, diciptakan berpasangan, agar mereka dapat membina rumahtangga dan meninggalkan zuriat. Pemeliharaan nasab keturunan, oleh kerana itu, menjadi objektif Syari’ah maqāṣid al-sharīʻah, sesuatu yang tidak dapat dipelihara jika perkahwinan sesama jenis dibenarkan dan dibiarkan berleluasa. Penciptaan manusia diterangkan dengan terperinci di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menegaskan bahawa manusia diciptakan mengikut fitrah yang ditetapkan oleh Allah. Di antara fitrah manusia adalah kemampuan akliah untuk berfikir tentang Tuhan, kemampuan untuk mengetahui baik, buruk, benar dan salah, kemampuan untuk Kebenaran Tanggapan Kritis Terhadap Wacana Islam Liberal Bangi ATMA, 2009, 183. Dalam surah al-Nisa’ ayat 1 Allah berfirman yang maksudnya “Wahai sekalian manusia! Bertaqwalah kepada Tuhan kamu yang telah menjadikan kamu bermula dari diri yang satu jiwa, dan yang menjadikan daripada jiwa itu pasangannya isterinya - Hawa, dan juga yang membiakkan dari keduanya - zuriat keturunan - lelaki dan perempuan yang ramai.” Lihat juga surah al-Arāf 189; al-Zumar 6. “Setelah jelas kesesatan syirik itu maka hadapkanlah dirimu engkau dan pengikut-pengikutmu, wahai Muhammad ke arah ugama yang jauh dari kesesatan; turutlah terus fitrah ugama Allah, iaitu fitrah yang Allah menciptakan manusia dengan keadaan bersedia dari semulajadinya untuk menerimanya; tidaklah patut ada sebarang perubahan pada ciptaan Allah itu; itulah ugama yang betul lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” Surah al-Rūm 30. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 37 menghargai dan mencintai kebenaran, keadilan dan keindahan, sehingga tindakan manusia yang memilih tunduk dan patuh kepada perintah Allah, beribadah hanya kepadaNya, merupakan tindakan yang sesuai dengan fitrah dan hakikat dirinya, dan mencapai kebahagiaan dengannya. Dengan fitrah istimewa yang diberikan kepada manusia, fitrah untuk mengenal dan menghambakan diri kepada Tuhan, manusia mempunyai peranan yang telah ditentukan sejak sebelum kewujudannya di muka bumi, iaitu sebagai Khalifah agar manusia tahu siapa dirinya, mengapa dan untuk apa ia diciptakan Allah SWT mengutus para nabi untuk menyampaikan kebenaran daripada Tuhan Pencipta. Bertentangan dengan falsafah eksistentialismeyang menegaskan bahawa existence precedes essence’ kewujudan mendahului esensi, kita dapat memastikan bahawa dalam Islam yang berlaku adalah sebaliknya iaitu essence precedes existence,’ bahawa esensi manusia telah ditentukan terlebih dahulu oleh Tuhan sebelum manusia diciptakan. Ini bermakna bahawa hakikat manusia bukan ditentukan oleh manusia sendiri setelah hidup di bumi, sebagaimana dinyatakan oleh falsafah eksistensialisme, melainkan telah ditentukan oleh Allah sejak azali, sebelum diciptakannya Adam. Penciptaan manusia dan alam ini, mengikut konsep waḥdat al-wujūd, adalah suatu bentuk manifestasi kebesaran Asma dan Sifat Allah SWT. Ini kerana, orang yang mentawhidkan Allah dengan sebenar-benarnya adalah orang yang melihat bahawa yang wujud secara hakiki hanyalah Allah dan PerbuatanNya. Lihat sebagai contoh Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism, terjemahan dan pengenalan oleh Philip Mairet London Methuen, 1948, 28. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, “Iljām al-Awām an Ilm al-Kalām,” dalam Majmūʻat Rasā’il al-Imām al-Ghazālī Kaherah Maktabah al- Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 38 diatur sedemikian rupa, segalanya diciptakan dan diletakkan mengikut qaḍā’ dan qadarNya, mengikut suatu aturan dan susunan yang disebut sebagai sunnatullāh, sehingga membentuk hirarki susunan semua makhluk dan termasuk di dalamnya hirarki dalam susunan manusia hierarchy in the human order, yang dengan susunan ini maka terjelmalah keadilan Tuhan, dan manusia umpama alam kecil mikrokosmos yang mengandungi rahsia alam besar yang memenuhi jagat raya. Dalam pandangan alam Islam, tiada sesuatu yang berlaku di dunia ini melainkan atas kehendak dan perintah Allah SWT, dan mengikut aturan dan sunnah yang telah ditentukan olehNya. Oleh yang demikian, kejadian manusia, lelaki ataupun perempuan, miskin mahupun kaya, pintar mahupun bodoh, demikian juga segala apa yang berlaku di dunia, turunnya hujan, terbit dan tenggelamnya matahari, gempa bumi, banjir dan taufan, perkara yang baik mahupun yang buruk adalah ketentuan, qaḍā’ dan qadar, ataupun taqdir Allah SWT. Meskipun manusia berusaha sedaya upaya untuk mengelakkan perkara buruk daripada berlaku namun jika telah menjadi suratan taqdir maka kehendak Allah akan mengatasi kehendak manusia. Apa yang tercatat di lauḥ maḥfūẓ akan berlaku meskipun manusia tidak menginginkannya dan berusaha untuk menghalangnya. Oleh kerana itu, seseorang itu kekal lelaki meskipun ia ingin menjadi perempuan, dan seseorang itu kekal perempuan meskipun ia ingin menjadi lelaki. Perubahan apapun yang dilakukan terhadap dirinya hanya merupakan perubahan luaran, hakikat diri dan identitinya tetap tidak berubah. Justeru dengan melakukan perubahan pada dirinya yang tidak sesuai dengan identiti dan fitrahnya itu Tawfiqiyyah, 337; al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam Kuala Lumpur ISTAC, 1995. Lihat al-Attas, Islam and Secularism Kuala Lumpur ISTAC, 1993, 107-8. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 39 maka ia telah menentang kehendak Allah dan melakukan kerosakan pada dirinya sendiri. Kerosakan yang dilakukan oleh manusia terhadap dirinya dan terhadap alam sekitar hanya akan menimbulkan lebih banyak kesengsaraan dalam kehidupan. Fitrah yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada manusia memberikan mereka jalan untuk melakukan sesuatu yang baik bagi dirinya dan persekitarannya. Dengan mengikuti fitrahnya manusia dapat berfungsi dengan baik sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, dan kerananya mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat. Lelaki diberikan fitrah untuk memimpin keluarga dan mencari nafkah, manakala perempuan diberikan fitrah untuk mengandungkan dan membesarkan anak. Apabila kedua pihak, suami dan isteri menuruti fitrah kejadian masing-masing maka berlaku keharmonian dan kebahagiaan. Fitrah lelaki dan perempuan yang digambarkan di atas adalah benar apabila secara jujur diperhatikan sifat dan kecenderungan lelaki dan perempuan yang secara tabi’i memilikinya tanpa mengira bangsa, kaum, latarbelakang, dan bukannya dikondisikan oleh masyarakat seperti mana yang didakwa oleh golongan feminis. Malahan, sifat sedemikian wujud pada bangsa yang tidak bertamadun dan tidak beragama sekalipun. Maka sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal bahawa lelaki di seluruh dunia bersepakat untuk mencipta sifat-sifat di atas dengan tujuan untuk menindas kaum perempuan. Kekeliruan Golongan Feminis Muslim Gerakan feminisme pada umumnya merupakan suatu perjuangan bagi memerdekakan dan membebaskan kaum wanita daripada penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum lelaki. Gerakan ini memainkan peranan yang penting di Eropah dan di Barat umumnya kerana dengan perjuangan golongan feminis ini, kaum Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 40 wanita di Barat telah dapat mengecapi kemerdekaan dan kesamarataan yang sebelumnya dinafikan. Penulis Inggeris, Mary Astell 1666-1731 mengungkapkan kemarahannya berkenaan ketidakadilan yang berlaku dengan katanya “If men are born free, how is it that all women are born slave?” Terjemahan “Jika lelaki dilahirkan merdeka, mengapa semua perempuan dilahirkan sebagai hamba?” Ia sesuatu yang sebenarnya menggambarkan keadaan ketika itu di Eropah dan bukan di serata dunia, dan pastinya bukan di dunia Islam. Di Eropah, perempuan tidak memiliki hak pemilikan harta sebagaimana lelaki, hak perundangan untuk perempuan yang dizalimi sangat terbatas manakala universiti di Eropah tidak membenarkan perempuan mendapatkan pendidikan. Keadaan bertambah parah apabila kalangan ahli falsafah Barat sehingga zaman pencerahan, seperti Immanuel Kant 1724-1804 dan Jean Jacques Rousseau 1712-1778, mendokong diskriminasi dan merendahkan martabat ketika Maria Theresa di Austria memerintah 1740-1780 dan Catherine the Great di Rusia memerintah 1762-1796 menjadi ratu maka masyarakat Barat baru membuka mata terhadap keupayaan kaum wanita. Walau bagaimanapun kaum wanita di Barat perlu berjuang habis-habisan untuk mendapatkan hak mereka Mary Astell, Political Writings, ed. Patricia Springborg Cambridge Cambridge University Press, 1996, 18. Lihat juga bukunya Some Reflection upon Marriage yang menganggap perkahwinan sebagai satu bentuk perhambaan slavery. Mary Astell, Some Reflection upon Marriage London John Nutt, 1700 . Rousseau sebagai contoh menganggap pendidikan wanita hanya perlu sebagai persiapan bagi berkhidmat kepada lelaki. Lihat Julie; or, The New Heloise 1761 dan Emile; or, Education 1762. Lihat W. M. Spellman, A Short History of Western Political Thought London Palgrave-Macmillan, 2011, 106. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 41 yang dinafikan. Pada tahun 1789 ketika revolusi Perancis, terdapat tuntutan Petition of Women of the Third Estate to the King,’ yang menuntut hak mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Tuntutan mereka malah mendapat tanggapan negatif daripada National Assembly yang menetapkan bahawa wanita perlu menjadi warganegara yang pasif, dan tidak layak untuk mengambil bahagian dalam pilihan raya. Pada tahun 1792, Mary Wollstonecraft 1759-1797 menulis buku A Vindication of the Rights of Woman yang menyatakan bahawa kemampuan intelektual wanita yang dikatakan lemah itu adalah natijah daripada pendidikan yang tidak adil dan nilai-nilai masyarakat yang tidak menuntut agar wanita muncul sebagai manusia yang rasional dan berdikari, yang hanya berlaku dengan memperbaiki pandangan diri sendiri untuk lebih dihormati. Usaha beliau ini diremehkan oleh ramai orang ketika itu. Apa yang berlaku di Eropah pada abad pertengahan sebenarnya berakar pada falsafah Hellenistik yang sememangnya memandang rendah kepada perempuan. Sejak zaman Aristotle telah berlaku diskriminasi terhadap perempuan. Menurut Aristotle 322BC akal wanita lemah, tidak mampu berfikir dengan waras dan rasional oleh kerananya wanita perlu dipimpin oleh lelaki. Hellenisasi Barat, termasuk Hellenisasi Kristian, meneruskan dasar diskriminasi dan penindasan terhadap wanita. Pada hari ini golongan feminis umumnya bersepakat bahawa gender lelaki dan perempuan merupakan binaan masyarakat social construct. Ia terhasil daripada harapan masyarakat social expectation dan cara seseorang itu dibesarkan. Simone de Beauvoir 1908-1986 adalah antara feminis pertama yang menegaskan hal ini apabila berkata Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman Dublin J. Stockdale, 1793, 19. Menurut Aristotle lagi, “women exist as natural deformities or imperfect males”. Aristotle, Politics, terj. Ernest Barker Oxford Clarendon Press, 1948, 1254b, 13-16. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 42 “one is not born, but rather becomes woman”, dan “social discrimination produces in women moral and intellectual effects so profound that they appear to be caused by nature”. Jika perbezaan jantina biological sex dianggap sesuatu yang datang semula jadi oleh kerananya tidak dapat diubah, perbezaan gender pula, bagi mereka, adalah sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat dan oleh kerananya tidak mesti diterima. Di dunia Islam, tokoh-tokoh modenis adalah golongan yang memperkenalkan idea kesetaraan gender yang berasal daripada Barat. Muhammad Abduh 1849-1905, ketika mentafsirkan ayat 238 daripada surah al-Baqarah, menegaskan “Ini adalah kaedah umum yang menjelaskan bahawa perempuan adalah sama dengan lelaki dalam semua hak. Kerana itu lelaki dan perempuan serupa pada zat, perasaan, dan akal”. Namun Abduh juga mengakui apabila berlaku perbezaan pendapat maka pandangan lelaki perlu kesetaraan gender ini kemudian dilanjutkan oleh Qasim Amin 1863-1908, seorang modenis dan sahabat Muhammad Abduh. Di dalam Taḥrīr al-Mar’ah 1899, beliau mengatakan bahawa perempuan dan lelaki sebenarnya adalah sama dari segi kekuatan fizikal, yang menjadikan mereka berbeza adalah kerana perempuan tidak menggunakan potensi jasad dan akal mereka secara optimum. Kerana itu menurut Qasim Amin, perempuan perlu membebaskan diri mereka daripada segala kongkongan yang membelenggu dirinya, termasuklah Simone de Beauvoir, The Second Sex New York Vintage Books, 2011 [original 1949], 283, 14; Alison Stone, An Introduction to Feminist Philosophy Cambridge Polity Press, 2007, 2. Lihat Muhammad Imarah, al-Islām wa al-Mar’ah fi Ra’y al-Imām Muḥammad Abduh Kaherah Nahdat Misr, 2007, 23. Lihat juga keterangan Ignaz Goldziher yang mengetengahkan metodologi pentafsiran modenis Muhammad Abduh dalam Madhāhib al-Tafsīr al-Islāmī, terj. Abd al-Halim Najjar Kaherah Maktabah al-Khanji,1955, 350-395. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 43 hijab. Hijab yang dipaksakan ke atas wanita, menurut beliau, hanya menghalang wanita dan masyarakat Islam daripada kemajuan dan pendidikan wanita hanya sempurna apabila mereka membuang sebagai seorang modenis, mempunyai kepercayaan yang mendalam terhadap idea-idea Barat. Beliau tidak sedar bahawa apa yang dilakukannya boleh membawa natijah yang buruk kepada masyarakat Islam. Dengan tujuan islah, beliau tanpa segan silu mencanangkan idea-idea Barat. Qasim melihat masyarakat Barat, khususnya bangsa Anglo-saxon sebagai model mengapa muncul penulis Muslim yang memperbesarkan persoalan hijab? Mengapa tumpuan diberikan kepada kedudukan perempuan dalam masyarakat Islam? Apakah ada agenda di sebalik pembebasan perempuan? Sememangnya wujud agenda kolonialisme di sebalik wacana pembebasan wanita. Ia sebagaimana diterangkan oleh Katherine Bullock, orientalis dan penulis Barat yang melihat bahawa penjajahan terhadap bangsa lain merupakan misi pentamadunan. Menurut Bullock penghapusan hijab dilihat oleh Barat sebagai bahagian penting dalam misi pentamadunan Barat. Qasim Amin, Taḥrīr al-Mar’ah, Kaherah Nawabigh al-Fikr, pada muka surat 62 dan 63 beliau mengatakan . Katherine Bullock, Rethinking Muslim Women and the Veil Virginia IIIT, 2010, 25. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 44 Evelyn Baring, First Earl of Cromer 1841-1917, yang memerintah Mesir pada abad ke-19, berkata “The position of women in Egypt is a fatal obstacle to the attainment of that elevation of thought and character which should accompany the introduction of European civilisation”. Beliau juga menegaskan bahawa cabaran bagi orang Barat yang sebenarnya adalah untuk mengangkat martabat wanita di dunia Islam “To graft true civilisation on a society which is but just emerging from barbarism...not only to educate but to elevate the women, he will never succeed in affording to the man, in any thorough degree, the only education which is worthy of Europe”. Maka dapat disimpulkan bahawa misi pembebasan wanita sebenarnya bukanlah idea asli daripada penulis-penulis Muslim, tetapi datang daripada penulis Barat yang sekaligus pemerintah kolonial mereka, yang sudah tentunya membawa agenda kolonialisme. Hal ini dapat dilihat daripada kata-kata Cromer sendiri “The new generation of Egyptians has to be persuaded or forced into imbibing the true spirit of Western civilisation”. Pernyataan Cromer ini disahkan juga oleh seorang pegawai tentera Perancis yang menulis pada tahun 1846 “When we have them in our hands, we will then be able to do many things which are quite impossible for us today and which will perhaps Evelyn Baring, First Earl of Cromer, Modern Egypt, 2 vols. London Macmillan, 1908, 2538. Seperti dikutip oleh Mitchell, Colonising Egypt, 95. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 45 allow us to capture their minds after we have captured their bodies”. Selanjutnya wacana kesetaraan gender ini juga mendapat perhatian Fazlur Rahman 1919-1988. Dalam bukunya Major Themes of the Qur’an, beliau mengatakan bahawa lelaki dan wanita adalah setara, iaitu suami tidak lebih berkuasa ke atas feminis pada umumnya tidak menerima ayat al-Qur’an yang menegaskan kepimpinan lelaki dalam rumahtangga. Mereka lebih cenderung untuk menterjemahkan qawwāmūn sebagai pencari nafkah breadwinners.Istilah breadwinner ini bermasalah kerana ia telah menyempitkan peranan suami kepada fungsi ekonomi. Perlu ditegaskan bahawa perkataan qawwām tidak terhad kepada pemberian nafkah, sebagaimana akan dijelaskan di bawah, lelaki menjadi pemimpin bukan hanya kerana lelaki memberi nafkah, tetapi kerana lelaki diberi amanah dan tanggungjawab untuk memastikan rumahtangga termasuk isterinya, dijaga dan dipelihara dengan baik mengikut kehendak Allah. Maka ketika isteri tidak memerlukan nafkah material lelaki, tidak bermakna isteri tidak perlu taat pada suami. Di sini jelas bahawa Fazlur Rahman telah melakukan kesilapan apabila mengatakan bahawa ketika seorang isteri berhasil mandiri dan memberi sumbangan kepada rumahtangga maka kuasa suami keatasnya berkurangan “Wife’s economic self-sufficiency…and contribution to the household reduces the husband’s superiority, since as a human, he has no superiority over his wife.” Tokoh feminis sekular seperti Fatima Mernissi berpandangan bahawa hijab merupakan hasil kesepakatan Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980, 48. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 46 masyarakat, social construct, dan merupakan cerminan penguasaan golongan lelaki terhadap wanita. Dalam bukunya Beyond the Veil 1975, Fatima Mernissi mengatakan bahawa hijab adalah simbol penindasan ke atas kaum wanita the veil as a tool and symbol of oppression and subservience. Dalam bukunya yang lain, The Veil and the Male Elite, beliau mengatakan bahawa kewajipan hijab bukan daripada Nabi, tetapi merupakan pandangan para sahabat yang memiliki sifat membenci kaum wanita misogynists yang tidak ingin wanita menjadi pemimpin masyarakat. Malah amalan hijab menurutnya adalah tradisi Arab jahiliyyah. Sebagaimana Qasim Amin, beliau membuat kesimpulan bahawa pembebasan wanita Islam tidak akan berlaku tanpa penolakan terhadap hijab. Pandangan sekular terhadap hukum Islam juga terlihat dalam wacana yang diketengahkan oleh Amina Wadud. Di dalam bukunya Qur’an and Woman 1992, Wadud melihat bahawa wanita dalam Islam tertindas, dianggap sebagai manusia yang bertaraf rendah inferior, secara tabi’inya jahat, memiliki tahap intelektual yang rendah dan lemah beragama. Semua pandangan negatif terhadap perempuan ini berpunca daripada tafsiran terhadap al-Qur’an yang dikuasai oleh kaum lelaki. Oleh kerana itu al-Qur’an perlu ditafsirkan semula daripada perspektif wanita, dengan mengikut kaedah hermeneutik. Beliau turut menyanggah adanya hirarki dalam Islam. Fatima Mernissi, Beyond the Veil London Al Saqi Books, 1985, 82. Fatima Mernissi, The Veil and the Male Elite A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam New York Basic Book, 1991, 81. Amina Wadud menjelaskan “we are the makers of textual meaning. The result of our meaning-making is the reality we establish from those meaning to human experience and social justice. We need to make the text mean more for women’s full human dignity than it has been conceived to do or applied toward at any other time in Muslim history”. Amina Wadud, Inside the Gender Jihad Oxford Oneworld Publication, 2006, 204. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 47 Wadud menegaskan bahawa lelaki dan wanita perlu dilihat sama rata equal “Women are equal to men, they have the same rights and obligations on the ethico-religious level and have equally significant responsibilities on the social functional level”. Kerana itu beliau menolak konsep lelaki sebagai ketua rumah tangga qawāmah, perempuan tidak boleh menjadi imam solat berjama’ah dan lain-lain lagi. Baginya para ulama’ yang mentafsirkan al-Qur’an sepanjang sejarah telah bertindak bias, berat sebelah dan mengamalkan budaya patriarki dalam merumuskan hukum pada hakikatnya Islam sebagai agama yang disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah tidak pernah menindas kaum wanita, namun demikian amalan sesetengah masyarakat Islam yang cenderung merendahkan dan mendiskriminasikan kaum wanita telah sedikit sebanyak memburukkan imej Islam. Wujudnya penindasan’ ini telah menyebabkan kemunculan kelompok feminis Muslim seperti Fatima Mernissi yang memperjuangkan agenda pembebasan wanita, dan mereka melihat bahawa hijab, dengan pentafsiran yang melampau itu, adalah simbol penindasan terhadap kaum wanita. Sanggahan Fatima Mernissi terhadap hijab timbul akibat kekeliruan tentang perbezaan hijab sebagai suatu konsep dengan niqāb, purdah, burqa yang merupakan suatu tafsiran kepada hijab. Terdapat ulama’ khususnya dari kalangan Pseudo-Salafi yang menegaskan kewajipan purdah, niqāb atau abaya. Pemaksaan pemakaian purdah Amina Wadud, Qur’an and Woman Kuala Lumpur Fajar Bakti, 1992, 102. Lihat Amina Wadud, Qur’an and Woman, 2; lihat juga Ziba Mir-Hosseini, Islam and Gender The Religious Debate in Contemporary Iran New York Princeton University Press, 1999. Mengenai kewajipan niqāb, pakaian yang menutup muka dan tangan, lihat fatwa Ibn Taymiyyah, Hijāb al-Mar’ah wa Libāsuha fi al-Salāh Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 48 terhadap wanita menjustifikasikan gerakan feminisme untuk membebaskan wanita daripada penindasan kaum lelaki. Sebenarnya tiada dalil yang mewajibkan purdah, niqāb, burqa atau abaya ke atas wanita. Yang ada hanyalah kewajipan menutup aurat yang dengannya seseorang wanita dianggap telah berhijab. Majoriti ulama berpendapat bahawa menutup muka dan tangan bukanlah suatu kewajipan kerana terdapat dalil yang menunjukkan bahawa tangan dan muka bukan aurat wanita. Nabi sendiri tidak pernah mewajibkan wanita untuk menutup muka dan sebahagian orang Islam, termasuk yang digelar sebagai ulama’, telah menyebabkan Islam ikut terpalit dengan penindasan dan diskriminasi. Walaupun sebenarnya majoriti ulama’ tidak mewajibkan purdah, tetapi pandangan minoriti inilah yang diketengahkan untuk memberikan imej yang buruk terhadap Islam. Kelompok Pseudo-Salafi tidak sedar bahawa dengan mewajibkan purdah dan abaya, mereka telah meletakkan tanggungjawab menjaga kehormatan terhadap kaum wanita sahaja, walhal al-Qur’an menyuruh lelaki juga untuk menjaga kehormatan kaum wanita dengan menundukkan pandangan. Seseorang itu tidak perlu menundukkan pandangan jika tiada apa yang ingin dilihat. Justeru oleh kerana adanya keinginan untuk melihat lalu ia berupaya menahannya demi Riyadh Maktabah al-Maarif, Ibn Baz, Risālah Tabhath fi Masā’il al-Hijāb wa al-Sufur Madinah al-Jamiah a-Islamiyyah, Salih bin Uthaymin, Risālat al-Hijāb Madinah al-Jamiah a-Islamiyyah, 12-13. Pandangan yang berbeza dikemukakan oleh Nasir al-Din al-Albani sendiri, lihat Jilbāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah Beirut Dar al-Salam, 2002. Perbahasan tentang kewajipan niqāb boleh dirujuk di pautan berikut Nuruddeen Lemu, Is the Niqab Wajib for All Muslim Women? Lihat al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuh Beirut Dar al-Fikr,1994, 42651-2. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 49 menjaga kehormatan orang yang dilihat dan memelihara diri sendiri. Maka, di sinilah letaknya tujuan dan hikmah disebalik suruhan menundukkan pandangan. Tanpanya tiada kewajaran pada suruhan tersebut. Tugas menjaga kehormatan perlu diletakkan kepada kedua belah pihak dan bukan hanya kepada satu pihak sahaja. Inilah keadilan Islam yang perlu diserlahkan dan tidak boleh dicemarkan dengan pandangan-pandangan yang tidak mencerminkan keadilan dan keindahan Islam. Apabila terbukti bahawa amalan penindasan yang dilakukan terhadap wanita oleh golongan konservatif Pseudo-Salafi hanyalah pentafsiran keliru mereka sendiri terhadap Islam dan ia sebenarnya bukanlah tafsiran yang sah terhadap Islam, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi golongan feminis untuk merombak dan mentafsirkan semula Islam untuk disesuaikan dengan idealisme feminisme. Kedua-dua pendekatan konservatif dan feminis liberal adalah ekstrim, sedangkan kefahaman Islam yang dikemukakan oleh para ulama’ Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah kefahaman yang adil, pertengahan serta jauh daripada ekstrimisme. Pendekatan Sunni ini bercirikan pertengahanwasatiyyah, di mana terdapat perkara-perkara yang thawābit kekal tidak berubah dan perkara-perkara yang mutaghayyirāt dinamik dan sentiasa berubah. Dengan wujudnya pergerakan teguh dynamic-stabilismini maka masyarakat Islam yang berpegang kepada pendekatan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini tidak hanyut sebagaimana kaum liberal dan tidak jumud sebagaimana kaum konservatif dan radikal. Lihat penerangan tentang istilah dynamic-stabilism ini oleh Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamization of Contemporary Knowledge and the Role of the University in the Context of De-Westernization and Decolonization Johor Bahru Penerbit Universiti Teknologi Malaysia, 2013, 20. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 50 Apabila tiada penindasan terhadap wanita di dalam Islam maka tiada kewajaran bagi kewujudan feminisme dalam Islam. Adapun wujudnya penindasan, ketidakadilan dan diskriminasi terhadap wanita dalam masyarakat Islam, ia bukanlah sesuatu yang unik dalam masyarakat Islam. Setiap masyarakat yang mundur menghadapi masalah ketidakadilan. Ketidakadilan yang berlaku dalam masyarakat Islam tidak bersangkut paut dengan agama Islam, kerana apabila ditelusuri secara mendalam ia adalah masalah kondisi manusia yang tidak beretika. Masyarakat Islam mengalami kemunduran dari pelbagai segi sama ada moral, rohani, aqli, pendidikan, ekonomi dan politik. Oleh kerana itu ketidakadilan berlaku dalam masyarakat. Ia bukan hanya berlaku terhadap wanita malah terhadap kanak-kanak, orang tua, orang miskin, bahkan semua kelompok yang lemah. Dengan memahami konteks masalah ini maka kita dapat melihat feminisme bukanlah jawapan kepada masalah ketidakadilan yang berlaku ke atas kaum wanita. Justeru kewujudan mereka dalam masyarakat Islam hanya menimbulkan lebih banyak masalah dari segi akidah dan pemikiran di kalangan orang Islam. Jika perempuan mengalami penindasan di Barat, apa yang berlaku di dunia Islam adalah sebaliknya. Diskriminasi dan ketidakadilan tidak pernah menjadi masalah besar dalam masyarakat Islam. Justeru, Islam telah menjamin kebebasan individu, dan kemuliaan setiap insan, termasuk wanita dan hamba sahaya. Islam mewajibkan lelaki dan perempuan untuk menuntut ilmu. Bahkan sejak zaman Rasulullah telah muncul cendekiawan wanita, seperti A’ishah 613-678, Umm Salamah 596-683 dan Hafsah 605-665, yang mengajarkan agama kepada kaum wanita khususnya. Hadith Rasulullah “Menuntut ilmu adalah kewajipan ke atas setiap Muslim lelaki dan perempuan” Hadith riwayat Ibn Majah no 224. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 51 Bahkan terdapat masjid yang ditubuhkan oleh seorang wanita, iaitu Fatimah al-Fihriyyah 800-880. Masjid dan universiti ini kini dikenali sebagai universiti tertua di dunia yang masih wujud sehingga ke hari ini, iaitu Universiti Qarawiyyin di Fez, Maghribi. Di zaman Sayyidina Umar pula wanita telah memainkan peranan yang besar dalam aspek sosial dan ekonomi apabila al-Shifa’ binti Abd Allah, sahabat Nabi di kalangan wanita, telah dilantik oleh Khalifah Umar sebagai pegawai Hisbah di pasar, setaraf menteri perdagangan pada masa abad ke-17 di alam Melayu terdapat ratu yang memerintah kerajaan Aceh Islam meletakkan peranan lelaki dan perempuan berbeza. Rasulullah melarang wanita daripada berperang tetapi hanya dibenarkan untuk membantu dan merawat di belakang medan perang. Ketika baginda ditanya mengenai perbezaan ini maka turun ayat yang menjelaskan agar kaum perempuan tidak mempersoalkan perbezaan peranan ini, kerana masing-masing memiliki tanggungjawab yang dan Gender Sebagaimana hakikat dan fitrah manusia telah ditentukan oleh Allah SWT sebelum manusia diciptakan, demikian pula sifat gender lelaki dan perempuan. Sifat gender dan peranan keduanya telah ditentukan sejak sebelum mereka lahir di dunia. Manusia diciptakan berbeza bukan sahaja dari segi biologi, memiliki jantina dan fisiologi yang berbeza, tetapi mereka diciptakan dengan fungsi sosial Beliau adalah al-Shifa’ binti Abd Allah bin Shams al-Adawiyyah, seorang yang pintar membaca dan menulis, dan guru kaligrafi di zaman Rasulullah. Lihat Ahmad bin Ali al-Maqrizi, Imtāʻ al-Asmāʻ Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999, 9395. Untuk biografi beliau, lihat juga Ibn Hajar al-Asqalani, al-Iṣābah fi Tamyīz al-Ṣaḥābah Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995,7728. Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jakarta KPG, Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2008, 254. Lihat surah al-Nisa’, 32. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 52 yang berbeza kerana memiliki sifat, kecenderungan, keinginan, dan peranan yang berbeza. Oleh kerana lelaki dan perempuan memiliki fitrah yang berbeza, maka Islam menetapkan bahawa lelaki dan perempuan memiliki peranan yang berbeza, dan peranan ini telah ditetapkan oleh Allah dan menjadi sebahagian daripada Syari’ah yang tidak berubah mengikut peredaran zaman. Perkataan fitrah dalam bahasa Arab berasal dari akar kata faṭara yang bermaksud mencipta ibtadaʻa daripada sesuatu yang tidak ada. Kerana itu di dalam al-Qur’an, Allah SWT disebut sebagai Fāṭir yakni Pencipta yang para ulama’ ahli Bahasa, fiṭrah bermaksud asal kejadian khilqah manusia, yang selalu disebut sebagai sifat-sifat semula jadi natural disposition. Merujuk kepada ayat al-Qur’an, “fiṭratallāh allati faṭara al-nāsa alayhā,” dan hadith “Kullu mawlūdin yūladu ala al-fiṭrah,” al-Zamakhshari dalam Asās al-Balāghah menambahkan bahawa fitrah di sini merujuk kepada perwatakan yang cenderung kepada agama yang benar al-jibillah al-qābilah li dīn al-ḥaq.Demikian juga al-Raghib al-Asfahani dan al-Zabidi berkata bahawa fiṭrah adalah penciptaan Allah SWT dalam diri manusia yang menjadikannya bersedia untuk melakukan sesuatu. Beliau juga menguatkan pendapatnya ini dengan ayat 25 surah Luqman yang menjelaskan bahawa pada dasarnya kaum musyrikin pun tahu bahawa Pencipta alam semesta adalah Allah surah Fāṭir, 1 “Segala puji tertentu bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi, yang menjadikan malaikat utusan-utusan yang bersayap dua, tiga dan empat; Ia menambah pada bentuk kejadian makhluk yang diciptakanNya apa jua yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”. Muhammad bin Umar al-Zamakhshari, Asās al-Balāghah Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998, 228. Al-Raghib al-Asfahani, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān Damshiq Dar al-Qalam, 2011, 640; Muhammad Murtada al-Zabidi, Tāj al-ʻArūs Beirut Dar Sadir, 2011 8178. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 53 Bagi seorang mu’min, sifat Qudrah dan Iradah Allah SWT adalah mutlak sedangkan kuasa dan keinginan manusia hanyalah berlaku dengan izinNya. Disebut sebagai fiṭrah kerana sesuatu yang diciptakan itu mengikut acuan yang diinginkan oleh penciptaNya. Maka apabila sesuatu ciptaan tidak mengikuti sifat kejadiannya yang diingini oleh Penciptanya ia boleh dianggap suatu keingkaran. Sesuatu yang mengikut fitrahnya pula disebut sebagai tabi'i, natural. Tabi’i daripada perkataan Arab, ṭabaʻa bermaksud mencetak, menjadikan sesuatu dengan rupa tertentu yang kekal. Al-Jurjani ketika merujuk kepada manusia dan perkataan al-ṭabʻ, menurutnya bermaksud apa yang terbit daripada manusia tanpa al-Asfahani menyebut bahawa al-ṭabʻ adalah kecenderungan yang diciptakan oleh Allah dalam diri manusia. Alam tabi’i ʻālam al-ṭabīʻah merujuk kepada alam yang mengikut acuan dan kehendak Allah SWT. Kerana itu alam ini merupakan cetakan ṣibgah Allah, di mana jelas terdapat kesan atau bekas impression, yang menunjukkan keagungan dan kebijaksanaan Penciptanya. Maka dapat disimpulkan bahawa mengikut pandangan alam Islam, segala ciptaan Tuhan secara tabi’inya mengikut kehendak, keinginan dan acuan Tuhan sunnatullāh. Rekaan ini adalah yang terbaik dan sempurna kerana dibuat dengan ilmu dan kebijaksanaan yang tiada tara, kerana itu ia tidak akan pernah rekaanNya adalah bahawa kaum lelaki mempunyai sifat, perwatakan dan keupayaan yang berbeza daripada kaum perempuan. Kedua-dua gender dan jantina adalah ciptaan dan ketentuan Allah. Al-Jurjani, Kitāb al-Taʻrīfāt, ed. Muhammad Siddiq al-Minshawi Kaherah Dar al-Fadilah, 119. Adapun tabiah menurut beliau adalah kekuatan yang berada dalam jisim dengannya sesuatu itu dapat mencapai kesempurnaannya yang tabi’i. Al-Qur’an surah al-Aḥzāb 38. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 54 Gender adalah sifat pembawaan dan kecenderungan semulajadi kurniaan Tuhan yang berbeza mengikut jantina. Seorang lelaki, sebagai contoh, sukakan perempuan. Perasaan suka ini berlaku secara tabi'i atau natural. Sebaliknya apabila seorang lelaki sukakan lelaki maka ia adalah sesuatu yang dianggap luar tabi'i. Kita dapat melihat bahawa perwatakan yang berbeza antara lelaki dan perempuan berlaku ketika kecil, seumur 2-3 tahun lagi, di mana anak lelaki pada umumnya akan menyukai harimau atau singa sebagai binatang kesukaan, sedangkan anak perempuan akan menyukai kucing, rusa, kanggaru dan seumpamanya. Ini menunjukkan kecenderungan mereka yang berbeza sejak lahir, dan bukan pengaruh persekitaran. Kita juga dapat melihat bahawa apabila tumbuh dewasa, kaum perempuan umumnya suka mengemas, bersolek, sukakan kecantikan dan sebagainya. Sifat dan kecenderungan ini timbul dalam diri seseorang perempuan secara tabi’i. Seseorang wanita yang tidak memiliki perwatakan wanita bukanlah wanita yang normal, tidak terjadi secara tabi’i, tetapi muncul akibat faktor luaran. Demikian juga sebaliknya. Kerana itu Tuhan tidak menciptakan seorang lelaki yang gay dan perempuan yang lesbian, tetapi manusia itu sendiri yang memilih untuk menjadi gay dan lesbian. Lelaki dan wanita, menurut perspektif Islam khususnya dan masyarakat beragama umumnya, bukan sahaja berbeza kerana mereka memiliki alat kelamin yang berbeza tetapi juga berbeza dari segi esensinya, kerana masing-masing memiliki sifat, kecenderungan dan kemampuan yang berbeza. Perbezaan pada aspek-aspek inilah yang disebut sebagai fiṭrah. Konsep kesetaraan gender oleh kerana itu secara tidak langsung mengetepikan dan menolak wujudnya fiṭrah yang berbeza antara lelaki dengan perempuan. Perbezaan sifat, perwatakan, kecenderungan dan kemampuan ini wujud secara tabi’i innate dalam diri manusia. Ia adalah sunnatullāh dan Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 55 fiṭrah yang Allah tetapkan kepada makhlukNya. Perbezaan fiṭrah antara lelaki dan perempuan ini berlaku secara tabi'i, bukan dibentuk oleh masyarakat dan persekitaran dan ini bermakna konsep gender yang diterima pakai oleh masyarakat Barat serta golongan feminis khususnya, adalah salah, keliru dan berbahaya. Seorang manusia yang sedar bahawa gender adalah ketentuan Tuhan, tidak akan berani untuk merubah gendernya. Ia sedar bahawa ketentuan dan ketetapan Tuhan tidak akan berubah. Seorang lelaki akan tetap menjadi seorang lelaki meskipun ia dapat menukarkan alat kelaminnya kepada alat kelamin perempuan. Begitu juga sebaliknya. Yang membezakan lelaki dengan perempuan adalah esensi dan bukan sifat luaran. Seorang perempuan itu dikenali sebagai perempuan kerana keperempuanannya. Dan seorang lelaki dianggap lelaki kerana kelelakiannya. Kelelakian dan keperempuanan inilah yang menjadi esensi lelaki dan perempuan dan bukan alat kelaminnya jantina. Oleh itu apabila seseorang lelaki mendapatkan khidmat pembedahan untuk menukar alat kelaminnya ia pada hakikatnya tetap seorang lelaki. Seorang suami akan merasa tertipu apabila mengetahui bahawa ternyata perempuan yang dikahwininya sebenarnya adalah seorang lelaki, kerana secara tabi’inya seorang lelaki hanya tertarik kepada lawan jenis bukan sama jenis. Dari segi kemanusiaan, setiap manusia adalah mulia dan terhormat, sama ada lelaki mahupun dan tingkah laku manusia itu sendiri yang akan menyebabkannya dipandang hina oleh orang lain. Dalam pandangan Allah, hanya orang yang bertaqwa yang mendapat tempat yang tinggi di itu tidak menjadi mulia atau hina kerana dia seorang lelaki Dalam al-Qur’an, surah al-Isra’ 70, disebutkan bahawa anak-anak Adam telah dimuliakan oleh Allah SWT, dengan diberikan kelebihan-kelebihan yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 56 ataupun perempuan, atau kerana dia berkulit hitam ataupun putih, atau menjadi pemimpin, kaya ataupun berkuasa. Ini kerana Islam meletakkan kemuliaan pada nilai yang bersifat spiritual, iaitu ketakwaan, keimanan dan juga ilmu yang dengannya ia dapat memberi manfaat kepada umat mengatur kehidupan suami isteri dan institusi keluarga, Syari’ah Islam mengambil kira perbezaan fiṭrah lelaki dan perempuan. Oleh kerana itu Islam meletakkan keduanya di tempat yang berbeza dengan peranan yang berbeza. Hanya apabila setiap satunya diberikan peranan yang berbeza maka akan berlaku keadilan, sebaliknya apabila keduanya disama-ratakan maka yang akan berlaku adalah ketidakadilan. Kepimpinan Lelaki ke atas Wanita al-Qiwāmah Berbeza dengan dakwaan golongan feminis, sebenarnya persoalan kepimpinan kaum lelaki ke atas kaum wanita adalah sesuatu yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an. Ia bukan lahir dari amalan masyarakat tertentu, dan bukan juga hasil budaya. Kerana itu dalam tradisi Islam perkara ini merupakan sesuatu yang mapan thābit dalam agama dan bukan sesuatu yang berubah mengikut peredaran zaman. Namun begitu hakikat ini tidak dapat diterima oleh kaum feminis Muslim, kerana kepimpinan lelaki dilihat bertentangan dengan konsep kesetaraan gender yang mereka perjuangkan. Beberapa ayat al-Qur’an menegaskan kepimpinan lelaki dalam rumahtangga,, antara lain dalam surah al-Nisā’ 34 Allah berfirman yang maksudnya “Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal qawwāmūn yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan faḍḍalallāh orang-orang lelaki dengan beberapa keistimewaan atas Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 57 orang-orang perempuan, dan juga kerana orang-orang lelaki telah membelanjakan memberi nafkah sebahagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang soleh itu ialah yang taat kepada Allah dan suaminya, dan yang memelihara kehormatan dirinya dan apa jua yang wajib dipelihara ketika suami tidak hadir bersama, dengan pemuliharaan Allah dan pertolonganNya. Dan perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan perbuatan derhaka nusyuz hendaklah kamu menasihati mereka, dan jika mereka berdegil pulaukanlah mereka di tempat tidur, dan kalau juga mereka masih degil pukullah mereka dengan pukulan ringan yang bertujuan mengajarnya. Kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar.” Sebagaimana dijelaskan di atas, perkataan qawwāmūn di dalam ayat ini menjadi bahan perdebatan. Terdapat usaha untuk mentafsirkan semula maknanya, dengan menolak tafsiran para ulama’ terdahulu, agar selari dengan konsep kesetaraan gender. Perkataan qawwām berasal dari perkataan qā’im yang bermaksud penanggungjawab, orang yang memelihara dan bertanggungjawab. Maka qawwām menurut al-Zabidi adalah penjaga dan pemelihara. Menurut beliau lagi, qā’im juga bermaksud orang yang berdiri tegak di dalam kebenaran. Maka qawwām juga membawa makna, orang yang bertanggungjawab memastikan sesuatu itu berdiri di atas jalan kebenaran. Fakhr al-Din al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahawa al-qawwām, berasal daripada ungkapan al-qā’im bi al-amr, iaitu nama atau gelaran yang merujuk kepada Al-Zabidi, Tāj al-ʻArūs, 8775. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 58 seseorang yang dipertanggungjawabkan dengan sesuatu tugas,kerana itu ia adalah pengurus, penanggungjawab dan faḍḍala sering diertikan dalam bahasa Inggeris dengan perkataan preferred. Ia memberi isyarat bahawa kaum lelaki lebih disenangi berbanding kaum perempuan, walhal hakikatnya tidak bermaksud demikian. Ia hanya menegaskan bahawa Allah SWT memberikan kaum lelaki sesuatu yang lebih berbanding perempuan. Seseorang yang diberi nikmat yang lebih tidak semestinya adalah orang yang lebih dikasihi, demikian juga seseorang yang diberikan musibah dan cubaan tidak bermakna ia dibenci oleh Allah. Ini kerana kedua-dua kelebihan dan kekurangan adalah ujian daripada Allah. Al-Qur’an juga menegaskan bahawa Allah SWT menciptakan manusia bertingkat-tingkat, sebahagian memiliki kelebihan ke atas sebahagian yang lain. Kita perhatikan juga di sini bahawa antara sebab mengapa Allah menggunakan perkataan qawwāmūn dan bukan ru’asā’ atau umarā’ yang bermaksud pemimpin, adalah kerana yang ingin ditekankan bukanlah kepimpinan itu sendiri sebagai suatu jawatan, tetapi pemimpin dalam erti orang yang bertanggungjawab menjaga keluarga. Justeru, ia harus dilihat sebagai suatu beban serta tanggungjawab yang akan dipersoalkan, dan bukan satu kedudukan semata. Fakhr al-Din al-Razi, Mafātīḥ al-Ghayb Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009, tafsir surah al-Nisa’, 34. Terjemahan yang diberikan oleh Sahih International adalah “Men are in charge of women”. Ia terjemahan yang lebih tepat berbanding Yusuf Ali “protectors and maintainers”, Muhammad Asad “take full care”, Riffat Hasan “managers”. Wadud, Azizah “breadwinners”, “those who provide a means of support or livelihood”. Lihat Asma Barlas, Believing Women in Islam Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an Austin University of Texas Press, 2002, 186-7. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 59 Fakhr al-Din al-Razi dalam mentafsirkan ayat 34 surah al-Nisa’ menerangkan bahawa kelebihan lelaki berbanding perempuan yang dimaksudkan terbahagi kepada dua jenis pertama, adalah sifat-sifat hakiki seperti ilmu akaldan kekuatan jasmani; kedua, pada hukum-hakam Syari’ah, seperti kepimpinan tertinggi, kepimpinan dalam solat, jihad, azan, khutbah, kesaksian dalam perkara hudud dan qisas, kelebihan dalam harta waris, pembayaran diyat, wali nikah, talak, rujuk, dan hak ayat di atas juga menegaskan tuntutan agar isteri mentaati suami, dan apabila perkara ini gagal dipatuhi maka suami berhak mengambil tindakan yang sewajarnya kepada isteri. Perkara ini kemudian dijelaskan dalam banyak hadith yang menyatakan kewajipan isteri untuk taat kepada suami. Tuntutan untuk mentaati suami dalam ayat dan hadith jelas menunjukkan bahawa suami adalah ketua rumahtangga yang bertanggungjawab untuk menjaga dan memberi nafkah ahli keluarganya. Apabila ditegaskan di dalam al-Qur’an bahawa lelaki, sebagai kelompok manusia dan bukan orang perorangan, Yang dimaksudkan di sini bukan lelaki lebih cerdas daripada perempuan, tetapi kemampuan mereka secara umum berbeza, di mana lelaki lebih’ mampu menggunakan akalnya melebihi perasaannya, dan lebih’ mampu untuk berfikir hal-hal yang umum kullī berbanding hal-hal yang khusus juz’ī. Lihat Fakhr al-Din al-Razi. Mafātīḥ al-Ghayb, tafsir surah al-Nisa’, 34. Antara lain hadith nabi yang bermaksud “Apabila seorang wanita itu menunaikan solat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadan, menjaga kemaluannya, mentaati suaminya, dikatakan padanya masuklah ke Syurga melalui pintu mana yang ia suka’”. Hadith riwayat Ahmad dan Ibn Hibban, no. 4163. Begitu juga hadith “Jika ada aku menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain nescaya aku akan menyuruh seorang wanita untuk sujud kepada suaminya”. Hadith riwayat al-Tirmidhi, no. 1159; Ibn Majah no. 1853. Dalam riwayat Ibn Majah terdapat tambahan “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tanganNya tidaklah seorang wanita itu menunaikan hak Tuhannya sehingga ia menunaikan hak suaminya..” Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 60 adalah pemimpin qawwāmūn bagi kaum wanita, dan diberikan kelebihan satu darjat berbanding perempuan, ini bermakna bukan semua lelaki dapat menjadi pemimpin kepada kaum wanita dalam semua bidang. Boleh jadi dalam bidang-bidang tertentu terdapat individu wanita yang mempunyai kemampuan melebihi ramai lelaki, namun dengan kelebihan yang Allah berikan kepada umumnya kaum lelaki, mereka sewajarnya mampu dan mesti mampu menjadi pemimpin kepada kaum wanita. Maka kepimpinan lelaki ke atas wanita al-qiwāmah bukan suatu bentuk superiority keunggulan, memiliki martabat yang lebih tinggi, yang memberi isyarat bahawa wanita adalah inferior iaitu memiliki martabat yang lebih rendah. Justeru, kepimpinan yang dimaksudkan bukanlah suatu kemuliaan, bahkan kepimpinan dalam Islam pada umumnya bukanlah suatu kemuliaan dan kebanggaan. Ia adalah suatu beban yang berat kerana pemimpin perlu berkhidmat untuk yang dipimpin. Dengan kata lain, penegasan bahawa kaum lelaki adalah pemimpin kepada kaum wanita tidak bermakna bahawa kaum lelaki mendapat kedudukan yang mulia dan istimewa manakala kaum wanita mendapat kedudukan yang hina. Ia juga tidak bermakna bahawa kaum lelaki adalah tuan dan kaum wanita adalah hamba, kerana perkahwinan bukan perhambaan. Meskipun kepimpinan yang dimaksudkan di atas menuntut ketaatan pihak isteri, namun ia bukan ketaatan yang mutlak. Ia adalah ketaatan yang bersyarat, iaitu selama mana perintahnya itu tidak melanggar perintah Allah dan RasulNya. Jika dilihat dari perspektif sekular dan liberal, apapun bentuk perbezaan dalam peranan dan pembahagian tugas yang berbeza adalah suatu bentuk diskriminasi dan mencerminkan budaya patriarki. Oleh kerana Islam menekankan kepentingan institusi keluarga agar harmoni Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 61 dan sejahtera maka perbezaan peranan ini amat perlu untuk memastikan kelestarian hubungan keluarga. Ketika seorang lelaki masuk ke alam rumahtangga maka ia dihadapkan dengan suatu ʻaqad, yakni kontrak, dan melalui kontrak ini seorang lelaki bersetuju menerima seorang wanita untuk menjadi isterinya serta bertanggungjawab untuk memberi nafkah kepadanya. Ia secara tidak langsung bersetuju untuk memegang amanah sebagai kepala rumahtangga. Kegagalannya untuk memperlakukan isterinya dengan baik boleh membatalkan kontrak ini, dan oleh kerananya seorang hakim boleh menjatuhkan hukum juga wanita yang secara suka rela melakukan ʻaqad nikah, secara tidak langsung sebenarnya telah bersetuju untuk menerima kepimpinan lelaki yang menjadi suaminya, bersetuju untuk mentaatinya selama mana ia adalah perkara yang baik dan tidak bercanggah dengan kehendak Allah dan Rasul. Apabila peranan masing-masing dilihat sebagai suatu amanah maka seorang lelaki-pemimpin akan berusaha untuk memberi yang terbaik kepada ahli keluarganya. Telah menjadi aturan hidup di dunia ini bahawa semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita dapat. Manusia yang bersyukur setelah menerima sesuatu kebaikan sewajarnya ia akan membalas budi baik itu dengan memberi lebih. Apabila seorang suami itu adalah orang yang bertanggungjawab, ia akan berusaha untuk kebahagiaan dan kesejahteraan isteri dan keluarganya. Sebagai timbal balik maka sewajarnya isteri akan membalas budi dengan melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan suami. Seorang isteri yang berterima kasih kepada suaminya akan memastikan suami diberikan layanan yang istimewa, memasak makanan yang digemari Kerana itu seorang isteri berhak untuk menuntut cerai di mahkamah apabila lelaki gagal melaksanakan tugasnya dengan baik atau mencederakannya. Fasakh bermaksud melepaskan ikatan perkahwinan. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 62 suami, mengurus rumahtangga dengan baik, semua dilakukan dengan rela hati, bukan terpaksa. Adanya kerelaan dalam diri seorang wanita dan ketulusan hati dalam melaksanakan tanggungjawabnya ini menunjukkan bahawa ia bukanlah patriarki jauh sekali penghambaan terhadap kaum wanita. Ia hanya menjadi suatu bentuk penindasan apabila isteri dipaksa berbuat demikian walhal suami tidak melaksanakan tanggungjawabnya. Maka di sini apa yang penting ditekankan adalah agar setiap pihak melaksanakan tanggungjawab dan kewajipan masing-masing sebagaimana dituntut oleh agama, agar kepentingan dan hak kedua belah pihak, suami dan isteri, terpelihara. Untuk memastikan hal ini maka perlu ada langkah penjagaan, iaitu pendidikan. Melalui pendidikan akan muncul kesedaran dalam diri setiap orang untuk menjadi seorang Muslim, suami dan isteri yang baik, sentiasa menjaga dan menunaikan tanggungjawabnya kepada Allah, agama, keluarga dan masyarakat. Kurangnya pendidikan menyebabkan kerosakan dan kezaliman rumahtangga. Konsep Keadilan dan Kesamarataan Equality Allah SWT menciptakan setiap sesuatu berbeza dari yang lain, dan ini merupakan suatu tanda kebesaranNya. Umum mengetahui bahawa manusia diberikan kelebihan berbanding makhluk yang lain. Ibn Khaldun menegaskan bahawa meskipun dari segi kekuatan fizikal, binatang memiliki kelebihan berbanding manusia, namun dengan kurniaan akal iaitu kelebihan yang paling tinggi diberikan kepada makhluk, maka manusia boleh menguasai makhluk yang lain dan mengatur kehidupan di muka bumi sehingga mampu membangun Iblis yang menafikan kelebihan yang diberikan kepada Adam oleh Allah SWT. Ia tetap dengan Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun BeirutDar al-Fikr, 2004, 53. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 63 pendiriannya bahawa dirinya lebih baik daripada Adam kerana diciptakan daripada api. Penafian ini diiringi dengan keengganan mengikut perintah Allah, ketika Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam ia enggan kerana tidak melihat adanya kelebihan yang diberikan kepada Adam. Hakikat bahawa Adam memiliki kelebihan berbanding Iblis, dan semua makhluk ciptaan Allah, sehingga melayakkan dirinya diberi penghormatan sujud oleh Malaikat dan Iblis diterangkan di dalam al-Qur’ sini tidak timbul persoalan bahawa Iblis telah diperlakukan tidak adil oleh Allah, kerana tiada sesiapa yang dapat mempersoalkan mengapa Allah memberi kelebihan kepada sesetengah makhlukNya berbanding yang lain. Ia sama sahaja dengan mempersoalkan kebijaksanaan dan keadilan Allah SWT, sedangkan manusia tidak mengetahui perancangan-Nya. Kelebihan yang diberikan kepada Adam ini meletakkan manusia di atas makhluk-makhluk yang lain, sebagai khalifah di muka bumi, dan melayakkannya untuk mengurus segala sumber yang ada di bumi dan di langit untuk tujuan yang diridhai oleh Allah. Dari sini dapat disimpulkan bahawa kelebihan yang dimiliki oleh Adam, dan kedudukan yang tinggi diberikan kepadanya berbanding makhluk yang lain, memberi isyarat yang jelas bahawa tiada kesamarataan equality antara makhluk-makhluk Allah tersebut. Hakikatnya setiap manusia memiliki personaliti dan keunikan yang tersendiri. Meskipun wujud persamaan tetapi perbezaan itulah yang menjadikan setiap satunya unik dan bernilai. Ketentuan Allah memberi kelebihan kepada sesetengah manusia berbanding yang lain, serta mengangkat sebahagian ke atas sebahagian yang lain merupakan suatu Luqmān 20; al-Jāthiyah12. Surah al-Anʻām 165 “Dan Dia lah yang menjadikan kamu khalifah di bumi dan meninggikan setengah kamu atas setengahnya yang lain Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 64 tingkatan-tingkatan ini maka peradaban manusia dapat dibangunkan, berbanding apabila semua manusia diberikan kelebihan yang sama maka akan berlaku kekacauan dan keengganan untuk tunduk dan patuh kepada orang lain yang diberikan kelebihan. Kelebihan yang diberikan kepada seseorang individu adalah suatu ujian daripada Allah, yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Perbezaan antara mnausia, oleh kerana itu, perlu dilihat secara positif. Mengambil kira perbezaan inilah maka kaum ibu sewajarnya mendapat layanan yang istimewa oleh anak-anaknya. Dalam suatu hadith disebutkan bahawa orang yang paling patut disantuni adalah “ibumu” disebut oleh Rasulullah tiga kali, barulah kemudian “bapamu”. Perbezaan layanan ini adalah sesuatu yang wajar melihat kepada besarnya pengorbanan seorang ibu dalam kehidupan anaknya. Seorang anak akan sangat terhutang budi kepada ibunya, kerana pengorbanan yang dilakukan oleh ibu seperti melahirkan dan menyusukan, sehingga meskipun bapa juga banyak berkorban tetapi pengorbanan ibu jauh lebih besar. Jika perbezaan antara ibu dan bapa yang sah tidak diambil kira maka tiada layanan istimewa diberikan kepada kaum ibu, dan pengorbanan ibu yang besar itu tadi akan terlihat tidak dihargai sewajarnya. Justeru itu layanan sama rata kepada kedua ibu dan bapa, adalah satu bentuk ketidakadilan. Oleh kerana itu layanan berbeza perlu dilakukan kepada dua orang manusia yang memiliki perbezaan yang sah. Justeru, ia tidak wajar dianggap sebagai suatu bentuk diskriminasi. Sebaliknya layanan berbeza kepada dua orang beberapa darjat, kerana Ia hendak menguji kamu pada apa yang telah dikurniakanNya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhanmu amatlah cepat azab seksaNya, dan sesungguhnya Ia Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani”. Hadith riwayat Muslim, no. 4621, al-Bukhari, no. 5626. Lihat juga hadith yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Nasa’i dan Ibn Majah yang menyatakan bahawa Syurga berada di bawah telapak kaki ibu Sunan Ibn Majah bi Sharh al-Sindi, 180. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 65 yang tidak berbeza serta tidak memiliki perbezaan yang sah, adalah suatu diskriminasi. Sebagai contoh meskipun seorang khalifah adalah pemimpin masyarakat yang patut mendapat penghormatan dan layanan yang berbeza, namun di mahkamah dan di sisi undang-undang, ia tidak boleh diberikan layanan berbeza dengan yang diberikan kepada orang biasa. Di sisi hukum, keduanya tidak lagi dilihat sebagai pemimpin ataupun rakyat, miskin ataupun kaya, kuat ataupun lemah, tetapi sebagai manusia yang tertakluk kepada undang-undang, sebagai warganegara yang wajib mematuhi undang-undang. Di sini kelebihan yang ada pada khalifah tidak boleh diambilkira meskipun di tempat lain, dalam situasi yang berbeza, ia perlu ditaati dan ini merupakan perbezaan yang sah. Konsep kesetaraan musāwāh atau equality yang dicanangkan oleh sebahagian pemikir Barat bertujuan untuk menghilangkan perbezaan di atas. Konsep equality berasal dari bahasa Perancis, égalité, kemudian menjadi egalitarianism atau equalitarianism dan menjadi tunjang bagi liberalisme pada zaman moden di Barat. Konsep equality jarang digunakan pada masa lalu. Ia hanya popular dan menyebar luas setelah revolusi Perancis. Konsep yang banyak dibahas oleh para sarjana, termasuk ahli falsafah Yunani seperti Aristotle dan para ilmuwan Islam lainnya, adalah justice atau dalam bahasa Arab al-adl keadilan, yang bermaksud meletakkan sesuatu pada tempatnya. Terdapat kisah yang diriwayatkan oleh al-Bayhaqi tentang keadilan Shurayh al-Qadi ketika menyelesaikan kes Sayyidina Ali, khalifah umat Islam ketika itu menentang seorang Nasrani atas kepemilikan baju besi. Kegagalan Sayyidina Ali mendatangkan saksi menyebabkan kes itu dimenangi oleh Nasrani, meskipun sebenarnya baju besi itu milik beliau. Aristotle, Nicomachean Ethics New York Prometheus Books, 1987, 165. Al-Ghazali, Mīzān al-Amal Kaherah Dar al-Maarif, 1961, 273. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 66 Ini kerana, setiap sesuatu ada tempatnya masing-masing yang sesuai baginya dan tidak sesuai bagi yang lain. Equality atau kesetaraan membawa maksud kesamaan sameness, mengisyaratkan penyamarataan levelling, dan jika diletakkan bergandingan dengan gender maka yang berlaku adalah penyamarataan lelaki dengan perempuan. Maka equality cuba menyamaratakan sesuatu yang Allah ciptakan berbeza dan bertingkat. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahawa Allah memberikan kelebihan bagi kaum lelaki satu darjat berbanding perempuan. Dalam surah al-Baqarah, ayat 228, Allah berfirman yang bermaksud “Dan isteri-isteri itu mempunyai hak yang sama seperti kewajipan yang ditanggung oleh mereka terhadap suami dengan cara yang sepatutnya; dalam pada itu lelaki suami-suami itu mempunyai satu darjat kelebihan atas orang-orang perempuan isterinya. Dan ingatlah, Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” Para Mufassirun menegaskan bahawa meskipun lelaki diberikan kelebihan satu darjat di atas wanita namun kaum wanita mempunyai hak sebagaimana mereka memikul kewajipan. Al-Qurtubi mengatakan bahawa isteri mempunyai hak untuk dilayani dengan baik, dan diperlakukan dengan terhormat oleh suami mereka, sebagaimana mereka diwajibkan untuk mentaati darajah menurutnya lagi bermaksud kedudukan yang lebih di atas kemampuannya untuk berinfaq, membayar diyat, harta waris dan jihad. Dengan kata lain lelaki diberikan kelebihan memimpin rumah tangga kerana tanggungjawab mereka lebih dalam memberi nafkah dan bekerja. Al-Qurtubi, al-Jami li Ahkam al-Qur’an Beirut Mu’assasat al-Risalah, 2006, 4 52. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 67 Dengan kelebihan ini maka lelaki sebagai kepala rumahtangga perlu ditaati dalam perkara yang ma’ruf baik. Demikian juga perempuan mempunyai hak untuk dikasihi, disantuni, dihormati, dijaga dan dipelihara apabila perempuan menunaikan tanggungjawabnya sebagai isteri dan ibu yang membesarkan dan mengasuh anak-anak. Dengan wujudnya persefahaman dan kerjasama, setiap pihak yang jelas tentang kedudukan masing-masing dan tahu kewajipan dan hak masing-masing maka sudah tentu natijah yang muncul adalah keharmonian dan keadilan dalam rumah tangga dan masyarakat. Maka pernyataan bahawa kaum lelaki diberikan satu darjat kelebihan ke atas kaum perempuan bukanlah suatu bentuk diskriminasi. Ia adalah suatu bentuk penegasan tentang letak lelaki suami dan letak perempuan isteri dalam institusi keluarga. Ayat ini perlu dibaca dengan ayat sebelum ini yang menyatakan bahawa kaum lelaki adalah pemimpin kepada kaum dalam ayat ini sebelum Allah menegaskan kelebihan darjat yang diberikan kepada suami, Allah SWT telah terlebih dahulu menjelaskan kewajipan suami menunaikan hak-hak isterinya seimbang dengan kewajipan dan tanggungjawab isteri kepada suami. Di zaman Rasulullah SAW terdapat seorang wanita yang mengadu kepada Baginda akan rasa kurang puas hati sesetengah wanita terhadap kelebihan yang diberikan kepada kaum lelaki. Maka turun ayat yang menegur sikap seperti ini, yang maksudnya Surah al-Nisa’, ayat 34 “Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan orang-orang lelaki dengan beberapa keistimewaan atas orang-orang perempuan, dan juga kerana orang-orang lelaki telah membelanjakan memberi nafkah sebahagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang soleh itu ialah yang taat kepada Allah dan suaminya.” Lihat Tafsir Fakhr al-Din al-Razi bagi ayat 32 surah al-Nisa’. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 68 “Dan janganlah kamu terlalu mengharapkan ingin mendapat limpah kurnia yang Allah telah berikan kepada sebahagian dari kamu untuk menjadikan mereka melebihi sebahagian yang lain. Kerana telah tetap orang-orang lelaki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan orang-orang perempuan pula ada bahagian dari apa yang mereka usahakan; maka berusahalah kamu dan pohonkanlah kepada Allah akan limpah kurniaNya. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu”.Allah SWT menciptakan manusia tidak sama, masing-masing memiliki kelebihan di atas yang lain, dan setiap orang perlu diletakkan berdasarkan tingkat masing-masing. Meletakkan setiap orang pada tempatnya yang berbeza itu adalah keadilan, sedangkan tindakan menyamaratakan mereka semua adalah ketidakadilan. Kesimpulan Daripada perbincangan di atas jelas bahawa konsep kesetaraan gender yang diutarakan oleh kaum feminis telah mengetepikan hakikat bahawa fiṭrah lelaki dan perempuan berbeza. Perbezaan peranan dan tanggungjawab antara dua gender ini oleh kaum feminis telah dianggap sebagai ketidaksamaratan inequality dan ketidaksamarataan dianggap sama dengan ketidakadilan injustice. Kesalahan besar kaum feminis adalah menganggap bahawa perbezaan lelaki dan perempuan yang ditetapkan oleh Islam adalah suatu bentuk patriarki hanya apabila sesuatu agama itu memberikan kesamarataan maka barulah agama itu tidak lagi dianggap mengamalkan patriarki.’ Di sinilah letak kekeliruan yang besar. Adanya perbezaan tidak bermakna ianya suatu ketidakadilan, kerana keadilan tidak boleh disamakan dengan Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 69 kesamarataan, justeru penyamarataan sesuatu yang berbeza adalah suatu ketidakadilan. Wujudnya perbezaan peranan antara lelaki dan perempuan juga tidak boleh ditafsirkan sebagai penindasan, justeru ia sesuai dengan faham keadilan, iaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya. Para ulama’ yang mentafsirkan al-Qur’an menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul, iaitu meletakkan lelaki dan wanita di tempat mereka masing-masing sesuai dengan fiṭrah. Mereka tidak melakukannya berdasarkan kepentingan kaum lelaki serta tidak mendikskriminasikan kaum wanita serta berlaku berat sebelah terhadap mereka. Para ulama’ pada dasarnya mengikut kaedah yang disepakati dalam ilmu tafsir, dan tidak mentafsirkan al-Qur’an dengan sewenang-wenang. Dengan pemahaman yang tepat terhadap tafsiran al-Qur’an oleh para ulama’ Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan bukan tafsiran sempit golongan Pseudo-Salafi, kita mendapati bahawa perempuan dalam Islam tidak ditindas, justeru martabat serta kemuliaan wanita tetap dijaga sebagaimana terbukti dalam sejarah Islam. Perbezaan peranan dan fungsi antara lelaki dan perempuan perlu dilihat sebagai sesuatu yang positif. Justeru dengan adanya perbezaan maka suami dan isteri dapat berkerjasama, boleh saling melengkapi dan hidup bersama. Mereka hanya perlu kedewasaan dan kebijaksanaan dalam menangani perbezaan. Sebaliknya jika keduanya memiliki sifat dan keupayaan yang sama maka kerjasama tidak akan memberi apa-apa nilai tambah, tiada daya tarik antara satu sama lain, dan tidak akan berlaku saling melengkapi. Tiada kekurangan yang boleh dipenuhi oleh pasangannya, dan tiada keperluan untuk mereka hidup bersama. Meskipun terdapat pelbagai bentuk feminisme, namun pada hakikatnya wacana feminisme, baik di Barat mahupun di dunia Islam, adalah bertolak belakang dengan agama, bahkan ada yang anti-agama ataupun sekurang-kurangnya Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 70 berusaha untuk mentafsirkan semula agama agar bersesuaian dengan ideologi feminisme. Pandangan negatif Barat terhadap kedudukan wanita adalah bernuansa kolonialisme dan projek pembebasan wanita yang dilaungkan sejak awal abad ke-20 pada hakikatnya juga adalah untuk kepentingan penjajah. Kerana itu jelas bagi kita bahawa konsep kesetaraan gender gender equality tidak relevan bagi umat Islam. Selain kerana ianya menyalahi aturan dan kehendak Tuhan, iaitu fitrah dan tabiat yang telah Ia tetapkan, juga kerana feminisme muncul di Barat akibat daripada penindasan terhadap kaum wanita. Feminisme di Barat pada dasarnya adalah pemberontakan dan kemarahan terhadap ketidakadilan dan kemarahan yang disalurkan secara halus. Ia adalah perlawanan secara senyap, khususnya melalui penulisan kemudian persatuan-persatuan, terhadap budaya masyarakat yang dikatakan patriarki. Oleh kerana pelaku ketidakadilan ini adalah lelaki, maka lelaki yang menjadi tempat kemarahan itu. Di sinilah letak kesilapannya, sepatutnya masalah ini tidak dilihat tertumpu pada gender tetapi masalah berleluasanya ketidakadilan, masalah sosial dan masalah keruntuhan nilai kemanusiaan, yang berakar pada persoalan metafizik dan pandangan alam. Kesilapan tumpuan ini diakui oleh Doris Lessing 1919-2013, seorang tokoh feminis yang telah melepaskan diri daripada feminisme dan mendapat anugerah Nobel pada tahun 2007, sebagaimana dilaporkan oleh majalah Guardian, Lessing mengatakan “I find myself increasingly shocked at the unthinking and automatic rubbishing of men which is now so part of our culture that it is hardly even noticed”. The Guardian, “Lay off men, Lessing Tells Feminists,” Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 71 Menurut Lessing peperangan lawan jenis sex war yang dilancarkan oleh golongan feminis di Barat sejak abad ke-19 ternyata telah memunculkan suatu budaya di Barat yang juga negatif dan kontra produktif iaitu budaya yang merendahkan kaum lelaki. Rujukan Ahmed, K. ed. The Position of Woman in Islam. Safat Islamic Book Publishers, 1993. Al-Albani, Nasir al-Din. Jilbāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah. Beirut Dar al-Salam. 2002. Amin, Qasim. Taḥrīr al-Mar’ah. Kaherah Nawabigh al-Fikr, Aristotle. Politics, terj. Ernest Barker. Oxford Clarendon Press, 1948. Aristotle. Nicomachean Ethics. New York Prometheus Books, 1987. Al-Asfahani, al-Raghib. Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān. Damshiq Dar al-Qalam, 2011. Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fatḥ al-Bārī. Riyadh Dar al-Salam, Al-Asqalani, Ibn Hajar. Al-Iṣābah fi Tamyīz al-Ṣaḥābah. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995. Astell, Mary. Political Writings, ed. Patricia Springborg. Cambridge Cambridge University Press, 1996. Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur ISTAC, 1995. Al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur ISTAC, 1993. Baring, Evelyn. Modern Egypt. London Macmillan, 1908. Barlas, A. Believing Women in Islam Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin University of Texas Press, 2002. Beauvoir, Simone de. The Second Sex. New York Vintage Books, 2011. Bullock, Katherine. Rethinking Muslim Woman and the Veil. Virginia IIIT, 2010. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 72 Al-Ghazali, Abu Hamid. Mīzān al-Amal Kaherah Dar al-Maʻarif, 1961. Al-Ghazali, Abu Hamid. “Iljām al-Awām an Ilm al-Kalām.” Dalam Majmūʻat Rasā’il al-Imām al-Ghazālī. Kaherah Maktabah al-Tawfiqiyyah, Ibn Baz. Risālah Tabḥath fi Masā’il al-Ḥijāb wa al-Sufūr. Madinah al-Jamiʻah a-Islamiyyah, Ibn Khaldun. Muqaddimah Ibn Khaldun Beirut Dar al-Fikr, 2004. Ibn Taymiyyah. Ḥijāb al-Mar’ah wa Libāsuha fi al-Ṣalāh. Riyadh Maktabah al-Maʻarif, 2005. Al-Jurjani. Kitāb al-Taʻrīfāt, ed. Muhammad Siddiq al-Minshawi. Kaherah Dar al-Fadilah, Al-Maqrizi, Ahmad bin Ali. Imtāʻ al-Asmāʻ. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999. Lombard, Denys. Kerajaan Aceh. Jakarta KPG, Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2008. Mernissi, Fatima. “Virginity and Patriarchy.” In Women and Islam, ed. al-Hibri, A. Oxford Pergamon Press, 1982. Mernissi, Fatima. Beyond the Veil. London Al Saqi Books, 1985. Mernissi, Fatima. The Veil and the Male Elite A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam. New York Basic Book, 1991. Mir-Hosseini, Ziba. Islam and Gender The Religious Debate in Contemporary Iran. New York Princeton University Press, 1999. Muhsin, A. Wadud. Qur’an and Women. Kuala Lumpur Penerbit Fajar Bakti, 1992. Al-Nawawi. Sharḥ Ṣaḥīh Muslim. Beirut Dar al-Maʻrifah, 1998. Al-Qurtubi. Al-Jamiʻ li Ahkam al-Qur’an. Beirut Mu’assasat al-Risalah, 2006. Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 73 Al-Razi, Fakhr al-Din. Mafātīḥ al-Ghayb. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009. Salih bin Uthaymin. Risalah al-Hijab. Madinah al-Jamiʻah a-Islamiyyah, Sartre, Jean-Paul. Existentialism and Humanism, terj. Philip Mairet. London Methuen, 1948. Spellman, W. M. A Short History of Western Political Thought. London Palgrave-Macmillan, 2011. Stone, Alison. An Introduction to Feminist Philosophy. Cambridge Polity Press, 2007. The Guardian, “Lay off men, Lessing Tells Feminists,” Wadud, Amina. Inside the Gender Jihad. Oxford Oneworld Publication, 2006. Wadud, Amina. Qur’an and Woman. Kuala Lumpur Fajar Bakti, 1992. Wan Mohd Nor Wan Daud. Islamization of Contemporary Knowledge and the Role of the University in the Context of De-Westernization and Decolonization. Johor Bahru Penerbit Universiti Teknologi Malaysia, 2013. Wollstonecraft, Mary. A Vindication of the Rights of Woman. Dublin J. Stockdale, 2010. Al-Zabidi, Muhammad Murtada. Tāj al-ʻArūs. Beirut Dar Sadir, 2011. Zainah Anwar, ed. Wanted Equality and Justice in Muslim Family. Petaling Jaya Musawah Sisters in Islam, 2009. Al-Zamakhshari, Muhammad bin Umar. Asās al-Balāghah. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 74 ... Pengertian gender menurut Harris & Muhtar 2019, bahwa gender dapat diartikan sebagai jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Sementara Fakih 2008 mendefinisikan gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. ...Manusia dan lingkungan adalah dua variabel yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan manusia adalah bagian penting dari lingkungan itu. Buku ini mengulas hal-hal penting terkait dengan aspek sosiologis dari manusia atau masyarakat dari kedudukannya terhadap eksistensi lingkungan. Di dalamnya diketengahkan beberapa konsep sosiologi lingkungan dan penerapannya secara empirik pada dinamika sosial dan lingkungan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Humans and the environment are two variables that are interrelated and cannot be separated. Even humans are an important part of that environment. This book reviews important matters related to the sociological aspects of humans or society from their position in relation to the existence of the environment. In it, several concepts of environmental sociology are presented and their empirical application to social and environmental dynamics that are often encountered in everyday life.... Gender equality does not mean treating men and women equally, but rather realizing fair treatment for men and women by considering the different needs of women and men [18]- [20]. Qualitatively, the direction and targets of gender equality policies are aimed at systematically addressing various gender inequality issues in various development fields [6], [21]. Quantitatively, gender equality refers to 1 Achievement of basic abilities education, health, and economy that is equal for men and women because of the development priorities; and 2 improve the balance of women's representation in the realm of decision-making [22], [23]. ...... One of the big misunderstandings from them is the differences of men and women existed by Islam are a form of patriarchy because they believe that the religion which gives equality is the religion that is no longer used to practice patriarchy A. Harris & Muhtar, 2019. In fact, patriarchy had an enormous impact on women in Islam even though there is no inherent or logical link between patriarchy and Islam Mir-Hosseini 2003, and it has been claimed to be the practice among tribes in the pre-Islamic era. ...In 2015, United Nations UN has implemented 17 Sustainable Development Goals SDGs, where the fifth goal aims to achieve gender equality and empower all women and girls all over the world. The efforts of promoting gender equality are not new, yet it is a continuous mission as a global concern from one generation to another. Islam is one of the religions which attempts to emphasize equality for all mankind. Unfortunately, there are claims that gender inequality and injustice are being justified in the name of Islam. Islamic texts are blamed for having deliberately encouraged gender bias and have shown a preference for males over females. The stereotype image of the female role is continuously portrayed as a symbol of the oppression of Muslim women, even though in the present-day women have been given other significant roles in society. Therefore, this study aims to remove any accusation that claims Islam is an unjust religion towards gender equality and analyse its value within the current context. Applying the qualitative design, this study collects and analyses related verses from the Quran and selected hadiths from six canonical books of hadith known as Kutub Sittah. As a result, the study found the similarity and differences on the concept of gender equality in SDG and the Islamic texts from the Quran and hadith. However, eliminating injustice and discrimination towards women should be significantly continued as a global and humanitarian article aims to analyze the concept of gender equality in Islamic Economics and its implications for national development. The method of writing this paper uses qualitative methods, data and information are collected by conducting a literature search. The results of this study indicate that the accommodation of gender equality will have a good impact on the economic sectors so that it will indirectly support the continuity of the country's economic development, which can be one of the ways to achieve economic growth, eradicate poverty, hunger, so that it becomes an integral part of efforts sustainable development. Keywords Gender Equality, Islamic Perspective, Sustainable Development Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisis konsep kesetaraan gender dalam Ekonomi Islam dan implikasinya terhadap pembangunan nasional. Metode penulisan makalah ini menggunakan metode kualitatif, data dan informasi dikumpulkan dengan melakukan penelusuran pustaka. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa terakomodasinya kesetaraan gender akan berdampak baik terhadap sector sector perekonomian sehingga secara tidak langsung akan menungjang kelangsungan pembangunan ekonomi negara, yaitu dapat menjadi salah satu cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, mengentas kemiskinan, kelaparan, sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pembangunan berkelanjutan. Kata Kunci Kesetaraan Gender, Perspektif Islam, Pembangunan BerkelanjutanSyed Redzuan AlsagoffAsan Ali Golam HassanWan Suhaimi Wan AbdullahChanges in the understanding of gender are making it complicated to use gender as a category of analysis. Previously, it was generally accepted that gender is a binary category, comprising of male and female, based on clear biological distinction. Then came the idea that gender is a sociocultural construct. More recently, gender is said to be based on each person’s personal conception of himself or herself. These novel ideas have detached the meaning of gender from its biological foundation and have consequently made the concept of gender ambiguous and subjective, with theoretically infinite possible interpretations that can formulate an indeterminate number of genders. Such arbitrariness is unsuitable for scientific analysis. Accordingly, mainstream economists, in their aspiration to be scientific, have largely ignored these semantic developments and have continued to use the biologically defined binary categorisation of gender, presumably because of its practicality when used in economic analysis. From an Islamic perspective, economists are right to use such definition of gender, not because it is practical to do so, but because it conforms to reality and truth ḥaqq as revealed by religion. This article discusses these ideas as well as their history and interactions to show that from an Islamic perspective the number of genders is not indeterminate, nor is gender only practically binary, but it is really and truly binary in line with the worldview of de Beauvoirde Beauvoir writes that "humanity is male and man defines woman not in herself but as relative to him; she is not regarded as an autonomous human being" "He is the Subject, he is the Absolute-she is the Other" "When man makes of woman the Other, he may, then, expect her to manifest deep-seated tendancies toward complicity. Thus woman may fail to lay claim to the status of subject because she lacks definate resources, because she feels the necessary bond that ties her to man regardless of reciprocity, and because she is often very well pleased with her role as the Other" "Christ was made a man; yes, but perhaps for his greater humility"Fatima MernissiIt is no secret that when some marriages are consummated, the virginity of the bride is artificial. Enough young women to delight the gynaecologists with the relevant skills, resort to a minor operation on the eve of their wedding, in order to erase the traces of pre-marital experience. Before embarking on the traditional ceremonies of virginal modesty and patriarchal innocence, the young woman has to get a sympathetic doctor to wreak a magical transformation, turning her within a few minutes into one of Mediterranean man's most treasured commodities the virgin, with hymen intact sealing a vagina which no man has then, virginity is a matter between men, in which women merely play the role of silent intermediaries. Like honour, virginity is the manifestation of a purely male preoccupation in societies where inequality, scarcity, and the degrading subjection of some people to others deprive the community as a whole of the only true human strength self- confidence. The concepts of honour and virginity locate the prestige of a man between the legs of a woman. It is not by subjugating nature or by conquering mountains and rivers that a man secures his status, but by controlling the movements of women related to him by blood or by marriage, and by forbidding them any contact with male Position of Woman in IslamRujukan AhmedRujukan Ahmed, K. ed. The Position of Woman in Islam. Safat Islamic Book Publishers, al-Mar'ah. Kaherah Nawabigh al-FikrQasim AminAmin, Qasim. Taḥrīr al-Mar'ah. Kaherah Nawabigh al-Fikr, to the Metaphysics of IslamS M Al-AttasAl-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur ISTAC, 1995.
Makaada satu hal yang paling pokok disoroti oleh Paulus yang berhubungan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan yaitu dalam hubungan gender, laki-laki dan perempuan. Manusia tidak dihargai menurut jenis kelaminnya sebagai yang utama dan yang nomor dua. (dihargai menurut harkat dan martabatnya) sebagai pewaris Kerajaan Allah.ArticlePDF Available AbstractThis article with a title The Equality and Distinction Between Man and Woman A Critique to the Feminist Movement", will firstly discuss about the feminist movement comprehensively and afterward itu will discuss about the feminist movement within Christianity, gender-equality issues, as well as the distinction between man and woman from the view of Christian feminism. After these, it will be discussed gender-equality issues and the distinction between man and woman from the perspective of Reformed theology. Then a critique to the feminist movement within Christianity will be discussed. The finding of this article is that the feminist movement within Christianity has indeed grown a better appreciation for the woman, especially in the equality between man and woman wich is a reality. The consequence is the authority of the Bible is accused by this Christian feminist movement. KEYWORDS feminism, Christian feminism, equality, distinction, Reformed theology. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. KESETARAAN DAN PERBEDAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN KRITIK TERHADAP GERAKAN FEMINISME Lina Gunawan STT Reformed Injili Internasional ABSTRACT This article, with a title “The Equality and Distinction between Man and Woman A Critique to the Feminist Movement”, will firstly discuss about the feminist movement comprehensively and afterward it will discuss about the feminist movement within Christianity, gender-equality issues, as well as the distinction between man and woman from the view of Christian feminism. After these, it will be discussed gender-equality issues and the distinction between man and woman from the perspective of Reformed theology. Then, a critique to the feminist movement within Christianity will be discussed. The finding of this article is that the feminist movement within Christianity has indeed grown a better appreciation for the woman, especially in the equality between man and woman. However, this movement ignores the distinction between man and woman which is a reality. The consequence is the authority of the Bible is accused by this Christian feminist movement. KEYWORDS feminism, Christian feminism, equality, distinction, Reformed theology. ABSTRAK Artikel yang berjudul “Kesetaraan dan Perbedaan Laki-laki dan Perempuan Kritik terhadap Gerakan Feminisme” ini pertama-tama akan memaparkan mengenai gerakan feminisme secara menyeluruh, dan kemudian memaparkan mengenai gerakan feminisme dalam kekristenan, serta tema-tema kesetaraan, perbedaan laki-laki dan perempuan dalam pandangan feminisme Kristen. Kemudian dipaparkan mengenai tema-tema SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 289 kesetaraan dan perbedaan laki-laki dan perempuan dari perspektif teologi Reformed. Setelah itu akan dipaparkan mengenai kritik terhadap gerakan feminisme dalam kekristenan. Temuan dalam tulisan ini adalah gerakan feminisme dalam kekristenan memang telah menumbuhkan kesadaran baru terhadap penghargaaan yang lebih baik terhadap perempuan, secara khusus dalam kesetaraan laki-laki dan perempuan. Namun, gerakan ini mengabaikan perbedaan laki-laki dan perempuan yang adalah sebuah realitas. Akibatnya, otoritas Alkitab mendapat gugatan dari gerakan feminisme Kristen ini. KATA KUNCI feminisme, feminisme Kristen, kesetaraan, perbedaan, teologi Reformed. Gerakan Feminisme merupakan sebuah gerakan yang lahir pada abad ke-18, sebagai sebuah respons terhadap tatanan masa sebelumnya. Mulai saat itu muncullah istilah “feminisme”. Lahirnya gerakan Feminisme ini seiring dengan timbulnya kesadaran baru terkait posisi sebagai sebuah pola relasi yang menempatkan laki-laki sebagai subyek, yaitu kaum superior yang mendominasi kaum perempuan. Jadi gerakan Feminisme adalah gugatan terhadap hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Pada awalnya, tuntutan kaum feminis merupakan sebuah tuntutan atas hak dasar sebagai seorang manusia. Kaum feminis menuntut kesempatan berkiprah di bidang politik, pendidikan dan ekonomi. Namun dalam perkembangannya, tuntutan itu melampaui lebih dari sekadar hak dasar, di mana tuntutan itu juga menyangkut perlunya definisi ulang relasi antara laki-laki dan perempuan. Gerakan feminisme ini penulis sebut sebagai feminisme radikal. Tulisan ini akan memberikan kritik terhadap pandangan feminisme radikal tersebut, karena sekalipun kesetaraan jenis kelamin merupakan sesuatu yang dapat diterima secara umum, namun secara substansi, apa yang dituntut oleh kaum feminis radikal ini, dapat menimbulkan persoalan baru di dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan. Periode yang 290 GERAKAN FEMINISME terutama mempengaruhi pandangan Feminisme Kristen adalah feminisme gelombang pertama dan kedua. Dengan demikian penulis membatasi pembahasan ulasan tuntutan feminisme terkait relasi laki-laki dan perempuan hanya pada kedua gelombang Feminisme ini tersebut. Gerakan Feminisme Sejarah perkembangan Feminisme dapat dikategorikan di dalam tiga gelombang waves. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-18 dan ke-19, khususnya di Amerika dan Inggris, yang kebanyakan memperhatikan penderitaan universal dan hak untuk mendapatkan kontrak hukum dan ekonomi. Perjanjian pertama untuk kaum feminis diprakarsai oleh Mary Wollstonecraft, dalam bukunya A Vindication of the Rights of Women 1792. Ia memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan posisi di masyarakat, dengan demikian perempuan bukan menjadi “ornamen” namun sebagai “pendamping” bagi suaminya. Ini ditulis sebagai respons untuk hak asasi manusia yang dicetuskan oleh dikenal sebagai orang yang berpengaruh untuk gerakan feminisme di Inggris. Sedangkan di Amerika adalah Elizabeth Cady Stanton 1805-1902 yang memenangkan hak perempuan untuk memilih, bersama Susan B. Anthony yang secara aktif memperjuangkan penghapusan perbudakan dan hak asasi perempuan. Stanton juga menerbitkan Alkitab Perempuan pada gelombang kedua, Feminisme berkembang pesat di tahun 1960 dan 1970-an. Selama perang dunia kedua, banyak kaum perempuan mengalami hidup di luar rumah dengan cara baru, mereka mendapatkan Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman With Strictures on Political and Moral Subjects New York 1999, 118. Anthony C. Thiselton, Hermeneutics An Introduction Grand Rapids Wm B. Eerdmans Publishing Co, 2009, 283. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 291 pekerjaan yang vital dan kebebasan baru. Mereka dipengaruhi oleh tulisan Betty Friedan dalam bukunya Feminine Mystique tahun 1963 dan Perjanjian Kennedy yang membentuk komisi yang khusus membahas tentang status ketiga Feminisme terjadi tahun 1990-an. Isu yang muncul bukan isu baru, masih sama dengan isu sebelumnya, namun berkembang secara intensitas. Dari apa yang diperlihatkan oleh gerakan Feminisme, tampak jelas bahwa apa yang menjadi tuntutan dan persoalan dari gerakan ini adalah kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Menurut kaum feminis, apa yang disebut dengan kesetaraan jenis kelamin adalah sebuah tuntutan kesamaan hak baik laki-laki maupun perempuan di dalam setiap aspek kehidupan. Sekalipun kesetaraan jenis kelamin merupakan sesuatu yang dapat diterima secara umum, namun secara substansi, apa yang dituntut oleh kaum feminis, dapat menimbulkan persoalan baru di dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan. Pada awalnya, tuntutan kaum feminis merupakan sebuah tuntutan atas hak dasar sebagai seorang manusia. Kaum feminis menuntut kesempatan di dalam bidang politik, pendidikan dan ekonomi, namun dalam perkembangan berikutnya, tuntutan itu telah melampaui lebih dari sekadar hak dasar, di mana tuntutan itu juga menyangkut perlunya definisi ulang relasi antara laki-laki dan perempuan. Tentu saja, tuntutan ini mempunyai implikasi yang sangat luas bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan Kesetaraan laki-laki dan perempuan merupakan isu yang diusung Feminisme gelombang pertama. Feminisme menuntut kesetaraan di 292 GERAKAN FEMINISME berbagai bidang kehidupan, pendidikan, politik, ekonomi, dan sosial. Ini dapat dipahami karena pada awal abad pertama era Kristen, perempuan secara umum, mengacu pada Hawa sebagai pelaku dosa pertama, dipandang sebagai penggoda dan bermoral rendah. Pada tahun 1776, Abigail Adams, seorang istri anggota Kongres Amerika menulis kepada suaminya, John Adams, agar hak perempuan dimasukkan ke dalam hukum. Namun baru satu abad yang lalu perempuan memperoleh hak untuk memilih; memperoleh pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama yang dilakukan oleh kaum laki-laki; dan juga bersama-sama dengan kebebasan manusia secara umum di Amerika. Feminisme gelombang pertama ini terjadi di Eropa dan Amerika. Para pejuang ini membentuk kelompok-kelompok untuk memperjuangkan hak perempuan. Mereka percaya bahwa perempuan akan menjadi warga negara yang mempunyai hak penuh di dalam hukum internasional jika mereka memperoleh kesetaraan di dalam pekerjaan, pendidikan yang lebih tinggi, akses memasuki ranah publik dan kebebasan memiliki materi. Mereka terus memperjuangkan hak pilih, tunjangan keluarga, penggunaan alat kontrasepsi, aborsi dan hak untuk memperoleh kesejahteraan bagi perempuan yang bekerja di rumah, undang-undang perlindungan dan status perempuan. Di ranah politik, kelompok-kelompok ini membongkar kekerasan dan perang internasional. Gelombang ini berhasil menciptakan identitas politik bagi perempuan, memenangkan kemajuan hukum dan juga emansipasi publik bagi zaman ini mewarnai tulisan-tulisan beberapa tokoh yang memperjuangkan hak perempuan di gelombang pertama ini. Mary Wollstonecraft, seorang penulis dan filsuf Inggris abad ke-18, yang Margaret Elizabeth Kostenberger, Jesus and the Feminists Who Do They Say That He Is? Wheaton, Illinois Crossway Books, 2008, 17. Maggie Humm, ed., Feminisms A Reader New York Harvester Wheatsheaf, 1992, 11-4. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 293 memperjuangkan hak asasi perempuan, di dalam bukunya A Vindication of the Rights of Woman 1792, berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kapasitas yang sama, sebagai gambar dan rupa Allah, oleh sebab itu perempuan juga berhak memperoleh kesempatan yang setara dalam mendapatkan pendidikan, sehingga memungkinkannya mengembangkan kapasitas rasional dan moral, bukan hanya sensibilitasnya saja, untuk dapat mengembangkan potensinya menjadi manusia yang lengkap. Wollstonecraft menegaskan, perempuan yang sungguh-sungguh terdidik akan mempunyai kemampuan untuk mengatur rumah dua abad setelah itu, kesetaraan laki-laki dan perempuan masih belum mencapai hasil yang maksimal seperti apa yang diharapkan dari perjuangan Wollstonecraft. Hal ini didapati oleh Maggie Humm di dalam tulisan Adeline Virginia Woolf, seorang penulis dan modernis yang juga berasal dari Inggris, A Room of One’s Own 1929. Ia menggambarkan bagaimana perempuan masih didominasi oleh laki-laki, baik secara sosial maupun secara fisik. Perempuan menjadi korban laki-laki, oleh karena itu perempuan seharusnya menolak nilai-nilai dari masyarakat patriark. Ia berpendapat bahwa isolasi domestik dan isolasi profesionalitas perempuan adalah puncak dari dominasi material dan ideologi laki-laki terhadap perempuan, namun ironisnya, ia mendapati secara de facto, perempuan malah sebenarnya ikut berkolusi’ dan punya andil juga di senada juga dikatakan oleh Simone Lucie Ernestine Marie Bertrand de Beauvoir—biasanya dikenal sebagai Simone de Beauvoir—seorang filsuf, aktivis politik dan feminis dari Perancis, di dalam bukunya Second Sex 1949. Pendapat ini dikutip oleh Humm, yang menyatakan bahwa masyarakat membentuk norma yang positif tentang laki-laki dan Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman, 127, yang dikutip oleh Rosemarie Tong, Feminist Thought A Comprehensive Introduction Boulder, Colo. Westview Press, 1989, 14-6. Maggie Humm, ed., Feminisms A Reader, 21. 294 GERAKAN FEMINISME negatif untuk perempuan. Perempuan dianggap kelas dua, dan disebut sebagai “yang lain/liyan”. Dalam tulisannya, Beauvoir membedakan antara jenis kelamin/gender fungsi sosial dan seks natur perempuan. Di dalam fungsi sosialnya, perempuan saling bergantung satu dengan yang lainnya dalam fungsi keibuannya motherhood, sedangkan di dalam hal natur perempuan, seseorang dikatakan sebagai perempuan itu bukan karena faktor biologisnya. Ia percaya bahwa tujuan revolusi perempuan hanya dapat dicapai dengan pembebasan perbedaan biologis dan pembebasan kemampuan rasional. De Beauvoir memberi kontribusi yang besar terhadap feminisme gelombang kedua, di antaranya pemikiran tentang adanya dikotomi antara perbedaan perempuan dan laki-laki, termasuk serangannya terhadap diskriminasi laki-laki secara biologis, psikologis dan ekonomis terhadap perempuan. Tulisan de Beauvoir ini mengantarkan feminisme kepada gelombang Amerika, Seneca Falls Resolution, “The Declaration on Women’s Rights” 1848 yang memperjuangkan hak pilih bagi perempuan, pada umumnya dipercaya menjadi agenda yang membayangi gerakan feminisme liberal. Betty Friedan menjadi tokoh feminisme terkemuka di Amerika. Ia mendirikan The National Organisation of Women NOW tahun 1966, yang memperjuangkan kesetaraan hak sipil, kesetaraan akses untuk pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan serta kesetaraan pembayaran upah bagi perempuan. Ia berpendapat, di dalam karya tulisnya The Feminine Mystique 1963, bahwa dengan hanya menjadi istri dan ibu bagi anak-anak, akan membuat perempuan menjadi bosan. Ia mengakui bahwa memang tugas ini adalah bagian dari hidup perempuan, namun bukan merupakan tugasnya sepenuh waktu. Perempuan harus mencari waktu untuk mengembangkan dirinya menjadi manusia yang utuh, yaitu dengan bekerja secara kreatif di Maggie Humm, ed., Feminisms A Reader, 44-5. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 295 luar The Feminine Mystique yang pertama kali terbit tahun 1963 ini, dianggap sebagai pemicu munculnya feminisme gelombang kedua di Amerika abad ke-20. Namun demikian, dua puluh lima tahun kemudian Friedan mempertimbangkan ada kesulitan dalam mengombinasikan antara pernikahan, menjadi ibu dan menjalankan karir secara sekaligus. Oleh karena itu di dalam tulisan selanjutnya yaitu The Second Stage, Friedan berpendapat bahwa Feminisme yang baru akan menuntut perempuan bekerja sama dengan laki-laki untuk melepaskan diri dari akibat yang ditimbulkan oleh Feminist Mystique, yaitu bahwa perempuan mengabaikan cinta, kasih sayang dan rumah. Ia mendapati bahwa perempuan tidak dapat dilepaskan dari kemanusiaannya di dalam kerangka hubungannya dengan laki-laki sebagai seorang istri, ibu dan perawat rumah. Dengan cara inilah, ia memperbaharui pemikirannya bersama-sama dengan laki-laki, perempuan dapat mengembangkan nilai-nilai sosial, kepemimpinan dan struktur institusional sehingga memungkinkan kedua jenis kelamin ini mencapai pemenuhannya, baik di dunia publik ataupun di dunia privat, demikian yang dikupas oleh Rosemarie Tong dalam buku Feminist dalam karyanya The Second Stage, Friedan mulai menyadari bahwa pekerjaan tanpa keluarga justru akan membuat perempuan kesepian I was the first woman in management here. I gave everything to the job. It was exciting at first, breaking in where women never were before. Now it’s just a job. But it’s devastating loneliness that’s the worst. I can’t stand coming back to this apartment alone every night. I’d like a house, maybe a garden. Maybe I should have a kid, even without a father. At least then I’d have a family. There has to be some better way to live. Betty Friedan, The Feminine Mystique New York Dell, 1974, 69-70. Rosemarie Tong, Feminist Thought, 24. Betty Friedan, The Second Stage New York Summit Books, 1981, 20-1. 296 GERAKAN FEMINISME Semangat zaman ini juga mempengaruhi gereja, khususnya perempuan dalam gereja secara teologis. Periode sejarah gereja, yang mengantar kepada Reformasi Protestan yang kepemimpinan gerejanya masih dipegang oleh laki-laki, adalah periode dimulainya kebangkitan feminisme. Reformasi itu sendiri mendorong setiap orang percaya membaca dan meneliti Alkitab, hal inilah yang membangkitkan benih yang membawa kesadaran akan nilai-nilai perempuan. Kesadaran inilah yang membuat sebagian perempuan, mengokohkan pendapatnya bahwa mereka mempunyai hak untuk berkhotbah dan mengajar. Terbukti dengan Grimke bersaudari, Sarah Moore Grimké 1792–1873 dan Angelina Emily Grimké 1805–1879, penulis, orator dan pendidik yang terlibat di dalam gerakan Quaker dan Abolitionist. Mereka memberi sumbangsih dengan menerbitkan risalah “Appeal to the Christian Women in the South” 1836 dan “Letters on the Equality of Sexes and the Condition of Women” 1837. Mereka masing-masing mengklaim bahwa Alkitab disalah mengerti dan salah interpretasi tentang perempuan. Merebaknya perempuan yang aktif di dalam pelayanan kekristenan mencapai puncaknya di dalam tulisan Elizabeth Cady Stanton bersama dengan dua puluh penulis perempuan, The Woman’s Bible 1895, 1898. Karya tulis ini lebih menyerupai buku tafsiran dibanding sekadar terjemahan. Stanton sendiri tidak menganggap Hukum Taurat Musa diinspirasikan,namun ia mengakui bahwa Alkitab melandasi hukum dan kebudayaan Barat yang didominasi oleh laki-laki. Ia percaya bahwa emansipasi W. Baird, History of New Testament Research, Vol. 2 From Jonathan Edwards to Rudolf Bultmann Minneapolis Augsburg Fortress, 2003, 331-32, 335-37. Quaker adalah sekelompok orang percaya dari berbagai denominasi di mana setiap orang yang tergerak oleh Tuhan boleh bicara memberitakan Firman dari Amerika Selatan pada abad ke-19. Abolitionist adalah yang menentang perbudakan dan memperjuangkan hak perempuan. Dayton, Discovering an Evangelical Heritage New York Harper, 1976, 89-91. Elizabeth Cady Stanton, The Woman’s Bible repr. New York Arn, 1972 [1895], 12. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 297 perempuan tidak mungkin terjadi jika posisi Alkitab tentang perempuan tetap diterima, karena Alkitab dianggap menjunjung kebudayaan patriark. Stanton memakai pendekatan “higher criticism”untuk mengikis otoritas Alkitab, terutama dalam hal pengajaran tentang Laki-Laki dan Perempuan Apabila pada gelombang pertama, feminisme membahas tentang kesetaraan dan perempuan mempunyai potensi yang sama dengan laki-laki, sedangkan pada gelombang kedua, pejuang feminisme justru lebih fokus pada perbedaan perempuan dengan laki-laki dan dengan perempuan itu sendiri, sebagai usaha menjadikan perempuan sebagai warga negara yang otonom. Gelombang ini mengarah kepada psikoanalisis juga kepada teori sosial tentang keberbedaan jenis kelamin untuk menciptakan etika feminist yang baru. Feminisme gelombang kedua menggunakan keberbedaan perempuan untuk melawan legalitas dunia patriarkal dan mengarah kepada formasi yang radikal. Argumen-argumen mengenai moral solidaritas yang diciptakan berdasarkan pendirian dan identitas pembela hak perempuan, reproduksi’, pengalaman’, perbedaan’ menjadi isu penting di gelombang kedua gelombang pertama dan kedua sama-sama mendapati bahwa penindasan terhadap perempuan ini terkait pada seksualitasnya. Gelombang kedua mengambil isu reproduksi sebagai titik awal untuk memperjuangkan emansipasi di berbagai bidang. Para pembela hak perempuan percaya bahwa masalah takdir biologis inilah yang membuat perbedaan perempuan dan laki-laki, terutama di bidang ekonomi yaitu Higher Criticism adalah kritik terhadap teks Alkitab dengan mempermasalahkan hal-hal lain di luar teks Alkitab seperti tantangan zaman yang terjadi saat itu, pengarang, sumber-sumber lain, sejarah, periode, dll. M. E. Kostenberger, Jesus and the Feminists, 20. Maggie Humm, ed. Feminisms A Reader, 11-2. 298 GERAKAN FEMINISME dalam hal pembagian pekerjaan dan sistem Murray yang disebut juga Kate Millet, seorang penulis, pendidik dan feminis Amerika, dalam disertasinya yang akhirnya dijadikan buku “Sexual Politics” 1968, menyatakan bahwa identitas seksual ini bukan merupakan pengalaman natural dari perempuan dan laki-laki namun sebagai pembentukan dan dampak dari keadaan sosial dan politik, demikian yang dikutip oleh Humm. Millet berpendapat bahwa seks adalah politis, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan ada hubungannya dengan hubungan kekuasaan. Ia berargumen, jika penerimaan terhadap supremasi laki-laki yang dianggap sebagai hak sejak lahir tidak dihilangkan, maka semua sistem penindasan terhadap perempuan akan terus berlangsung. Karena kendali laki-laki di dunia publik dan privat menimbulkan kebudayaan patriark, maka penguasaan laki-laki harus dihapuskan. Dengan demikian, jika perempuan ingin mendapat kebebasan, maka harus ada penghapusan perbedaan jenis kelamin, terutama status, peran dan temperamen seksual karena hal-hal ini telah dibangun di bawah sistem patriark.Para pembela hak perempuan di gelombang kedua ini juga berjuang menentang semua hal yang merendahkan perempuan seperti pornografi, perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan. Sama seperti Millett, Shulamith Firestone, seorang feminist radikal di Amerika, di dalam bukunya Dialectic of Sex 1970, mengatakan bahwa untuk menghasilkan jenis pembebasan manusia ini, dibutuhkan lebih dari revolusi biologis dan sosial yaitu dengan reproduksi buatan ex utero yang nantinya akan menggantikan reproduksi alami in utero. Firestone berpendapat bahwa pada saat realita reproduksi biologis ini tertangani, maka perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal pengelompokan berdasarkan jenis Kate Millett, Sexual Politics Garden City, NY Doubleday, 1970, 25. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 299 kelamin dan peran seksual dapat ditiadakan, sehingga pasangan heteroseksual bukanlah cara satu-satunya untuk memperoleh keturunan. Pada waktu Firestone menulis karyanya ini, teknologi yang baru dipakai secara luas adalah mengontrol reproduksi dengan kontrasepsi, sterilisasi dan aborsi, namun tiga dekade kemudian, teknologi reproduksi seperti inseminasi dari donor, bayi tabung dan transfer embrio sudah menjadi hal yang digunakan secara umum, demikian yang didapati oleh Tong dalam bukunya Feminist Thought. Dengan demikian, pandangan ini mengarah kepada homoseksualitas. Mary Daly, seorang feminist radikal, yang mengajar di Boston College sejak 1967 sampai diberhentikan secara paksa tahun 2001, karena ia tidak mengizinkan mahasiswa laki-laki mengikuti kelasnya,sependapat dengan Firestone. Ia mengemukakan bahwa untuk memberdayakan perempuan sebagai manusia yang utuh, pembebasan kelompok berdasarkan jenis kelamin gender harus diberlakukan, bukan hanya di dalam wilayah manusia namun juga sampai wilayah Tuhan, hal ini ditemukan di dalam karya utama pertamanya Beyond God the Father Toward a Philosophy of Women’s Liberation. Ia berpendapat jika Tuhan tidak melepaskan diri-Nya dari keterikatan pada jenis kelamin tertentu maka perempuan tidak akan dapat menjadi seorang yang utuh. Daly memandang kebudayaan patriark memadamkan energi dan diri sejati perempuan, oleh karena itu ia berpesan kepada kaum perempuan untuk menghancurkan semua mitos, nama, ideologi dan struktur sosial yang dibentuk oleh laki-laki tentang Shulamith Firestone, The Dialectic of Sex New York Bantam Books, 1970, 12. Rosemarie Tong, Feminist Thought A Comprehensive Introduction, 74. Office of Public Affairs Staff, “Mary Daly Ends Suit, Agrees to Retire,” The Boston College Chronicle 9, no. 11 Feb. 15, 2001. Mary Daly, Beyond God the Father Toward a Philosophy of Women’s Liberation Boston Beacon Press, 1973, 20. 300 GERAKAN FEMINISME perempuan, serta menarik diri dari tuntutan laki-laki supaya perempuan sungguh-sungguh dapat menjadi manusia yang konsepnya ini, tidak mengherankan jika Daly memerintahkan’ para feminist untuk menarik diri, bukan hanya dari institusi heteroseksual, tetapi juga seluruh institusi dengan sistem patriark, seperti gereja, sekolah, organisasi profesional dan keluarga, demikian yang dikemukakan oleh Rosemarie Tong dalam Feminist Thought. Menurut Daly, hanya feminist lesbian radikal yang dapat bangkit mengalahkan pengalaman normal patriark laki-laki. Dengan pemikiran yang menghasilkan pandangan-pandangan yang radikal tersebut, Daly benar-benar terpisah dari kekristenan dan mewakili feminisme radikal di Amerika, demikian menurut pendapat Margaret Elizabeth Kostenberger tentang Daly. Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan Feminisme gelombang kedua semakin mengarah pada pandangan yang radikal. Hal ini juga mempengaruhi feminist Kristen di dalam membentuk teologinya terutama di dalam menginterpretasikan hal-hal yang berhubungan dengan isu kesetaraan, kepemimpinan perempuan dan peran perempuan di dalam sektor kehidupan sosial, politik dan agama. Gerakan kaum perempuan injili dimulai pada sebuah konferensi “Evangelical for Social Action” di Chicago pada tahun 1973, dan semenjak tahun 1975 sampai 1983 mulai berkembang, begitu pula ketegangan mengenai penafsiran Alkitab dan inerrancy, namun pada tahun 1986 terjadi perpecahan ketika ada perbedaan pandangan seputar isu homoseksual. Pada periode ini muncul dua organisasi di Amerika Utara, yaitu Christians for Biblical Equality CBE, suatu advokat feminisme alkitabiah atau feminisme injili yang disebut juga Mary Daly, Gyn/Ecology The Metaethics of Radical Feminism Boston Beacon Press, 1978, 381. Mary Daly, Pure Lust Elemental Feminist Philosophy Boston Beacon Press, 1984, 366. Rosemarie Tong, Feminist Thought A Comprehensive Introduction, 126. M. E. Kostenberger, Jesus and the Feminists, 53. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 301 egalitarianisme yang menekankan pada kesetaraan wanita terhadap laki-laki di berbagai bidang kehidupan. Sementara kelompok lain, yang berakar pada pendukung komplementer, menekankan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kelompok ini disebut The Council on Biblical Manhood and Womanhood CBMW. Selanjutnya, perdebatan tentang jenis kelamin dalam hal peran laki-laki dan perempuan di dalam rumah, gereja dan masyarakat semakin meruncing di antara mereka. Seiring berjalannya waktu, muncul tiga kelompok yang memperjuangkan perempuan Radical Feminists, Reformist Feminists, dan Evangelical Feminists. Penjelasan secara sederhana, kelompok Radical Feminists menolak Alkitab dan menganggap kekristenan sebagai sesuatu yang sudah tidak lagi dapat dipakai karena pandangan yang bias tentang kebudayaan patriark. Sebaliknya, mereka berfokus pada pengalaman religius feminin sebagai kunci untuk menginterpretasi. Kelompok Reformist Feminists pada dasarnya menolak tradisi Kristen tentang perempuan, namun tetap menggunakan Alkitab sebagai sarana untuk merekonstruksi teologi yang positif secara “tepat”. Bagi mereka, Alkitab itu sendiri tidak dilihat sebagai tulisan yang tidak mungkin salah inerrant atau otoritatif. Kelompok ketiga adalah kelompok Evangelical Feminist, yang mengatakan bahwa tidak ada yang harus ditolak dalam Alkitab, dan Kitab Suci dipandang sebagai pengajaran yang lengkap akan kesetaraan laki-laki dan terbaru dari feminisme sering disebut sebagai Feminisme Gelombang ketiga, yang dimulai pada awal tahun 1990-an. Gelombang ini ditandai oleh pengejaran realisasi diri yang bahkan lebih P. D. H. Cochran, Evangelical Feminism A History New York, London New York University Press, 2005, 77-109 dikutip oleh M. E. Kostenberger, di dalam Jesus and the Feminists, 22-3. Mary. A. Kassian, The Feminist Mistake The Radical Impact of Feminism on Church and Culture Wheaton, IL Crossway, 1992, 249-50. 302 GERAKAN FEMINISME radikal. Mereka menghilangkan prinsip-prinsip kekristenan secara sepenuhnya. Hal ini masih terus berkembang sampai sekarang. Isu yang diperjuangkan masih sama dengan gelombang kedua, namun lebih dalam secara intensitasnya. Laki-laki dan Perempuan dalam Perspektif Alkitab Laki-laki dan Perempuan Sebagai Ciptaan Allah yang Setara Manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan adalah makhluk ciptaan Allah yang dicipta dari tanah namun adalah ciptaan yang mulia karena diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, Sang Pencipta itu sendiri. Di dalam Kejadian 127 yang mengatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka,” Allah menghendaki manusia mengerti bahwa manusia, laki-laki maupun perempuan, adalah makhluk ciptaan yang setara secara martabat dan keberadaannya yaitu segambar dengan Allah, sang Pencipta. Richard Pratt di dalam buku Designed for Dignity mengatakan bahwa Allah tidak menjadikan Adam dan Hawa serupa dengan batu, pohon, dan binatang. Ia dengan begitu hati-hati membentuk laki-laki dan perempuan pertama itu supaya mereka menjadi serupa dengan-Nya. Ia memutuskan untuk menjadikan manusia sebagai ciptaan yang mempunyai nilai dan kemuliaan yang tiada Sproul menambahkan bahwa manusia, yang adalah gambar dan rupa Allah, memiliki kapasitas untuk berpikir rasional, berespon terhadap rangsangan dari luar dan mengolah pikiran kognitif untuk berpikir dengan logika yang baik. Hal itu dapat terjadi karena Allah memiliki pikiran, dan Allah-lah yang memberikannya kepada manusia. Allah mempunyai M. E. Kostenberger, Jesus and the Feminists, 24. Richard L Pratt Jr., Designed for Dignity What God Has Made It Possible for You to Be Phillipsburg P&R Publishing, 1993, 9. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 303 kehendak, dan Ia pun membuat keputusan, maka manusia pun demikian adanya. Manusia juga diberikan kemampuan untuk menunjukkan perasaan kasihnya, hal ini menunjukkan natur Allah yang ada di dalam kemanusiaan manusia. Laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan di dalam semua kapasitasnya. Lebih jauh, Agustinus mengatakan bahwa gambar Allah adalah sebagai refleksi dari tiga pribadi Allah yang tercermin di dalam kapasitas yang berbeda namun juga merupakan kesatuan dari memori, intelektual dan kehendak. Anthony Hoekema menyetujui tentang konsep ini, ia berpendapat, ketritunggalan Allah didapati dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Keserupaan manusia dengan Allah adalah di dalam laki-laki yang memerlukan persahabatan companionship perempuan. Laki-laki memerlukan perempuan dan perempuan memerlukan laki-laki. Hal ini merefleksikan hubungan yang erat fellowship di antara Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sproul berpendapat bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan dengan nilai dan martabat yang setara. Mitos tentang subordinasi yang berarti inferioritas akan menghancurkan doktrin Tritunggal karena Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus dipercaya sebagai Pribadi yang setara di dalam kemuliaan, kehormatan dan martabat, namun demikian masing-masing Pribadi tidak lebih rendah dari yang lain. Walaupun di dalam ekonomi karya keselamatan, Allah Anak taat subordinasi kepada Bapa dan Roh Kudus adalah subordinasi dari R. C. Sproul, Truths We Confess A Layman’s Guide to Westminster Confession of Faith, Volume I The Triune God Chapter 1-8 of the Confession Phillipsburg P&R Publishing, 2006, 136. St. Augustine, The Trinity The Works of St. Augustine, Vol. 5, diterjemahkan oleh Edmund Hill Brooklyn, NY New City Press, 1991 dikutip oleh Bruce A. Ware “The Glory of Man and Woman as Created by God” dalam Biblical Manhood and Womanhood diedit oleh Wayne Grudem Wheaton Crossway, 2002, 73. Anthony A. Hoekema, Created in God’s Image Grand Rapids William B. Eerdmans Publishing Company, 1986, 14. 304 GERAKAN FEMINISME keduanya. Pendapat John Frame selaras dengan pendapat Sproul, ia mengatakan bahwa subordinasi tidaklah mengurangi kapasitas manusia sebagai gambar dan rupa Allah karena tiga hal. Pertama, manusia selalu ditempatkan di dalam hubungan yang merupakan subordinasi dengan orang lain, namun tidak merendahkan keberadaan mereka sebagai gambar Allah contoh. Kel. 2012 “Hormatilah ayahmu dan ibumu…”; Roma 131 “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya …”; Ibr. 1317 “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, …”. Kedua, Yesus sendiri menjadi lebih rendah dari Allah Bapa dan bahkan ada di bawah struktur otoritas manusia, untuk menyelamatkan manusia. Oleh karena itu otoritas manusia, yang menyerupai Kristus adalah justru menjadi seorang pelayan Mat. 2026-28. Kerelaan untuk menjadi lebih rendah daripada yang lain demi Allah juga merupakan komponen dari gambar dan rupa Allah. Bahkan tunduk kepada otoritas yang tidak adil sekalipun menunjukkan keserupaan dengan Kristus dan mempermuliakan Allah contoh 1Petrus 212. Ketiga, sangatlah sering terjadi, dengan merendahkan hati terhadap orang lain justru mendemonstrasikan komponen etis gambaran ilahi yaitu kasih, kesabaran, kelemahlembutan dan penguasaan diri samping argumentasi di atas, Wayne Grudem menambahkan bahwa di dalam konteks penulisan Kejadian 1-2, tindakan penamaan selalu Sproul, Truths We Confess, 133. “Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari di mana ia melawat mereka.” John M. Frame, “Men and Women in the Image of God” dalam Recovering Biblical Manhood and Womanhood A Response to Evangelical Feminism, diedit oleh John Piper dan Wayne Grudem Wheaton Crossway Books, 1991, 228. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 305 dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuasaan atas yang ini mengindikasikan bahwa Adam yang menamai Hawa memang diberikan otoritas yang lebih tinggi daripada Hawa di dalam urutan penciptaan, namun demikian kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tetap terlihat di dalam tindakan penamaan ini. Victor P. Hamilton, di dalam tulisannya tentang Kejadian 223, mengomentari bahwa dengan menggunakan dua kata yang berbunyi hampir sama yaitu laki-laki ish menamai perempuan ishah, penulis kitab ini ingin menekankan identitas dan kesetaraan dari kedua makhluk ciptaan ini. John Calvin menambahkan bahwa pada waktu Adam menamai Hawa, ia mendapatkan penolong sepadan yang selama ini tidak didapatinya. Calvin mengatakan bahwa Adam melihat Hawa seperti melihat another self. Dengan demikian, laki-laki melihat perempuan sebagai makhluk yang sama/setara dengan dirinya. Laki-laki dan Perempuan Setelah Kejatuhan dalam Dosa Menurut John Calvin, manusia yang sudah jatuh dalam dosa tetap merupakan gambar dan rupa Allah. Gambar Allah tidak hilang namun bentuknya rusak secara mengerikan. Pikiran dan kehendak tetap ada, Calvin menyebutnya sebagai “karunia natural” natural gifts, yang walaupun tidak hilang namun melemah dan rusak karena dosa. Walaupun demikian, Calvin menegaskan bahwa manusia harus tetap dihormati, Wayne Grudem, Evangelical Feminism & Biblical Truth An Analysis of More Than One Hundred Disputed Questions Sisters, Oregon Multnomah Publishers, 2004, 31. Victor P. Hamilton, The Books of Genesis Chapters 1-17 Grand Rapids William Eerdmans Publishing Company, 1990, 180. John Calvin, Genesis, A Geneva Series Commentary, terj. dan ed. John King Edinburgh Banner of Truth Trust, 1975, 1965, 13. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. Mc. Neill, terj. Ford Lewis Battles Philadelphia Westminster, 1960, 306 GERAKAN FEMINISME dikasihi dan dibantu ketika ada yang memerlukan bantuan, karena biar bagaimanapun rusaknya manusia yang telah jatuh dalam dosa, ia adalah gambar dan rupa menambahkan bahwa walaupun dosa merusak gambar dan rupa Allah, dosa tidak menghancurkan kemanusiaan manusia. Hal ini dapat secara tepat digambarkan dengan membandingkan hubungan Allah dan manusia dengan hubungan laki-laki dan perempuan. Sebagaimana Alkitab menekankan kemiripan antara Allah dan manusia demikian juga halnya antara laki-laki dan perempuan Kej. 223. Keberadaan manusia adalah untuk membantu’ Allah menggenapi rencana-Nya, perempuan adalah untuk menolong laki-laki Kej. 220, kedua hubungan itu disakiti karena dosa, tetapi kemiripan yang fundamental fundamental likeness yang menjadi dasar antara laki-laki dan perempuan tetap dan Perempuan Setara dalam Anugerah Keselamatan Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga terdapat di dalam laki-laki dan perempuan yang ditebus oleh Kristus, demikian yang dikatakan oleh Bruce A. Ware di dalam buku Biblical Manhood and Womanhood. Ia mengutip tulisan Paulus di dalam Galatia 326-29 “semua yang dibaptis dalam Kristus telah mengenakan Kristus, karena itu laki-laki dan perempuan sama, yang “Lalu berkatalah manusia itu “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan karena diambil dari laki-laki.” Walaupun sebenarnya Allah tidak perlu dibantu oleh manusia, namun Allah ingin menggenapi rencana-Nya melibatkan manusia sebagai alat-Nya. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, …” “manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia.” John Frame, “Men and Women in the Image of God” dalam Recovering Biblical Manhood and Womanhood, 226. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 307 oleh karena iman disebut anak-anak Allah berhak menerima seluruh janji Kristus”. Ia melihat, ide yang sama juga dikatakan oleh Petrus ketika memerintahkan para suami yang percaya untuk menunjukkan sikap hormat kepada istrinya sebagai teman pewaris dari anugerah kehidupan dalam Kristus 1 Pet. 37. Suami dan istri Kristen berdiri sama tinggi di dalam Kristus, keduanya diselamatkan oleh iman, keduanya dipersatukan dengan Kristus, dan keduanya adalah pewaris penuh kekayaan Kristus. Ayat-ayat di dalam Perjanjian Baru ini merefleksikan pengajaran Alkitab yang sangat jelas bahwa laki-laki dan perempuan setara di dalam kemanusiaannya Kej. 126-27, oleh sebab itu setara juga di dalam kepenuhan karya penebusan Kristus bagi mereka. Menurut Calvin yang dikutip oleh T. F Torrance dalam bukunya Calvin’s Doctrine of Man, penebusan adalah pembaharuan gambar Allah sebagai karya Roh Kudus, dikatakan bahwa “jika melihatnya dari sisi Allah, gambar Allah diperbaharui oleh Roh Kudus dengan memakai Firman Allah sebagai alat-Nya. Akan tetapi jika melihatnya dari sisi manusia, pembaharuan gambar Allah digenapi di dalam iman. Iman adalah suatu gerakan dari respons manusia terhadap Firman Allah yang olehnya manusia menjadi selaras dengan Allah yaitu gambar dan rupa Allah.” Dengan perkataan lain, Roh Kudus memperbaharui manusia melalui Firman, dan manusia dimampukan oleh Roh Kudus berespons terhadap Firman melalui iman. Frame menjelaskan lebih lanjut bahwa pembaharuan dan keselamatan itu adalah karya Allah yang digenapi oleh Allah Anak yaitu Yesus Kristus. Adam merusak gambar dan rupa Allah ketika jatuh dalam dosa, namun Bruce A. Ware, “Male and Female Complementarity and the Image of God” dalam Biblical Foundation for Manhood and Womanhood, diedit oleh Wayne Grudem Wheaton, IL Crossway, 2002, 80. T. F. Torrance, Calvin’s Doctrine of Man London Lutterworth, 1949, 80-1. 308 GERAKAN FEMINISME Yesus, sebagai Adam kedua, menjadikan gambar Allah terhormat dan memuliakan Allah yang diwakili-Nya. Keselamatan memindahkan manusia dari kemanusiaan lamanya yang mati di dalam Adam, kepada kemanusiaan yang baru dan hidup di dalam Kristus 1 Kor 1522. Melalui keselamatan, Tuhan menghapus distorsi gambar Allah karena dosa dan memimpinnya kembali kepada keserupaan Allah yang sempurna. Manusia diubah oleh Roh Kudus dengan kelahiran kembali dan pembaharuan hati, sehingga manusia mempunyai kapasitas, walaupun hanya untuk beberapa derajat, kembali mencerminkan dan merefleksikan karakter Allah. Itulah yang seharusnya manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, lakukan sebagai gambar dan rupa Allah. Laki-laki dan Perempuan Setara dalam Melaksanakan Mandat Budaya Allah menciptakan Adam dan Hawa dengan seluruh perlengkapan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk merefleksikan kebenaran dan kesucian Allah yang sejati kepada alam ciptaan. Laki-laki dan perempuan yang setara sebagai gambar Allah, yang walaupun berbeda dalam perbedaan otoritas dan ketundukannya, dipanggil untuk menjadi wakil Tuhan atas seluruh ciptaan, mengamalkan kekuasaan, otoritas dan kehadiran Allah, yang dikenal sebagai tugas mandat budaya. Kej. 128.Menurut Pratt, Allah sebenarnya tidak sulit untuk memenuhi bumi ini dengan hadirat-Nya, namun Ia memilih untuk menegakkan otoritas-Nya di bumi melalui cara-cara yang dapat dipahami oleh manusia. Seperti raja-raja zaman dahulu memenuhi kerajaan mereka dengan patung mereka untuk “Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” John Frame, “Men and Women in the Image of God” dalam Recovering Biblical Manhood and Womanhood, 226, Italic ditambahkan oleh penulis. John Frame, “Men and Women in the Image of God”, 231-2. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 309 menyatakan kuasanya, Allah berkata “Bertambah-tambahlah dirimu, Aku ingin gambar-gambar-Ku tersebar di seluruh muka bumi.” Demikian juga seperti seorang raja yang menganugerahkan otoritas kepada patung-patungnya, Allah memerintahkan gambar-gambar-Nya untuk bertakhta di atas bumi ini “Taklukkanlah dan berkuasalah, Aku memberimu otoritas untuk menjadi wakil-Ku di dalam dunia-Ku”.Pendapat yang terdistorsi tentang penciptaan Hawa adalah pernyataan bahwa Allah menciptakan Hawa sebagai hamba Adam. Sproul menjawab argumentasi ini dengan analogi yang tepat bahwa Allah menugaskan baik laki-laki maupun perempuan untuk menguasai alam Kej. 128 dengan menjadikan Adam sebagai raja, yang wilayah kekuasaannya adalah bumi ini, dan Hawa sebagai ratunya bukan hambanya. Raja dan ratu ini sepenuhnya menyatakan dan mempertunjukkan gambar dan rupa Allah. Jadi mereka adalah makhluk ciptaan yang setara. Dari kenyataan bahwa Allah memberkati manusia dan memberi mereka mandat budaya Hoekema berpendapat bahwa manusia juga menyerupai Allah sebagai pribadi yang bertanggung jawab, dan pribadi yang mempertanggungjawabkan segala sesuatunya kepada Allah sebagai Penciptanya dan Penguasanya. Di sini Allah dinyatakan sebagai sesosok pribadi yang dapat membuat keputusan dan memerintah. Hoekema meneliti lebih jauh tentang ayat 28, pada waktu Tuhan memberkati manusia untuk beranak cucu dan memenuhi bumi, hanya di sini, kata kerjanya di dalam bentuk jamak orang kedua, yang ditujukan kepada orang tua pertama di dunia ini. Perintah untuk beranak cucu ini menyiratkan adanya institusi pernikahan, yang Tuhan ciptakan untuk menjalankan mandat budaya ini. Dalam memberikan berkatnya, Allah tidak meninggalkan manusia, Ia berjanji akan memampukan manusia untuk Richard Pratt Jr., Designed for Dignity, 22-3. Sproul, Truths We Confess, 133. 310 GERAKAN FEMINISME menguasai bumi dan beranak cucu yang akan memenuhi bumi. Di dalam berkat ini terkandung juga perintah atau mandat yang harus dilaksanakan oleh laki-laki dan perempuan untuk menguasai bumi dan untuk mengembangkan kebudayaan yang memuliakan terhadap Feminisme Pandangan pejuang pembela hak perempuan memandang subordinasi dan dominasi laki-laki sebagai hal yang harus ditolak, karena subordinasi dimengerti sebagai inferioritas lebih rendah dan dominasi laki-laki dimengerti sebagai penindasan terhadap perempuan. Hal ini dapat dipahami karena sampai abad ke-18, perempuan mengalami tekanan dan tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki sehingga mereka sangat sensitif akan isu subordinasi dan dominasi laki-laki ini. Perjuangan kaum feminist merupakan reaksi dari suatu keadaan yang di dalamnya sudah terjadi penyimpangan yang berlebihan atas dominasi laki-laki terhadap perempuan. Mereka memperjuangkan kesetaraan perempuan dengan maksud kaum perempuan mendapat hak asasi yang seharusnya mereka dapatkan. Semua hal yang mereka lakukan diperuntukkan untuk mengangkat harkat perempuan yang sudah terpuruk. Namun, yang perlu diwaspadai di sini adalah mereka melakukan segala sesuatu atas nama perempuan. Hal inilah yang membuat pandangan dan cara pikir mereka tereduksi. Mereka melihat segala bidang kehidupan hanya dari perspektif perempuan, mereka menjadi sangat subyektif. Mereka bukan hanya memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki namun lebih jauh menolak dominasi bahkan menolak laki-laki itu sendiri. Hal ini dapat dilihat di dalam sejarah Feminisme bahwa perjuangan yang tadinya dilakukan untuk memperoleh hak asasi berubah menjadi gerakan yang menyimpang ke arah Anthony Hoekema, Created in God’s Image, 11-2. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 311 yang radikal. Terbukti dengan para pembela hak perempuan seperti Firestone yang berusaha untuk meniadakan perbedaan jenis kelamin dan menghindari pernikahan berbeda jenis dangan mengusahakan prokreasi dengan memproklamirkan teknologi reproduksi seperti bayi tabung dan inseminasi buatan dari donor. Juga, Daly yang “memerintahkan” para penganut Feminisme untuk menolak segala institusi dengan sistem patriark. Memang tidak dipungkiri bahwa teologi Feminisme Kristen ini telah membawa nuansa dan wawasan yang baru bagi gereja dan keluarga; para suami menjadi lebih menghormati istri mereka di dalam kehidupan keluarga dan membuat gereja melihat pentingnya memberi kesempatan yang lebih luas bagi perempuan mengambil bagian di dalam pelayanan gerejawi, demikian pendapat Wayne Grudem di dalam bukunya Evangelical Feminism A New Path to Liberalism?Bahkan Richard Bauckham menambahkan bahwa ada wawasan baru yang dibukakan oleh para kaum terpelajar feminist dalam melihat para perempuan di dalam Injil, yang sebelumnya kaum terpelajar scholar laki-laki tidak menemukan bahwa bagian tersebut cukup menarik untuk diteliti. Namun ada masalah yang ditimbulkan ketika mereka melihat Alkitab dengan sudut pandang yang direduksi hanya dari perspektif perempuan saja. Menurut Bauckham, cara menginterpretasi yang digunakan oleh pembela hak perempuan ini adalah interpretasi kecurigaan’ hermeneutic of suspicion sebagai prinsip yang mengontrol pembacaan teks di dalam Alkitab, sehingga hasil interpretasinya sudah diarahkan dengan pendekatan dan metodologi yang sudah ditentukan sebagai titik awalnya the methodological starting point and approach. Inilah yang membuat pengertian dan pembacaan Alkitab Wayne Grudem, Evangelical Feminism A New Path to Liberalism? Wheaton Crossway Books, 2006, 11. Richard Baucham, Gospel Women Studies of the Named Women in the Gospels Grand Rapids William B. Eerdmans Publishing Company, 2002, xiii. 312 GERAKAN FEMINISME menjadi berbeda. Pendekatan yang digunakan para penganut Feminisme Kristen ini membawa pengaruh yang besar terhadap pengertian subordinasi. Pengertian subordinasi yang menempatkan perempuan lebih rendah dan menjadi kaum yang tertindas, membuat kaum pembela hak perempuan dan egalitarian melihat Alkitab secara berbeda, khususnya di dalam isu kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan. Sebagai gambar dan rupa Allah, laki-laki dan perempuan setara sebelum kejatuhan. Namun setelah kejatuhan—di dalam pengertian penganut feminisme—perempuan menjadi lebih rendah, ketundukan kepada laki-laki dianggap kutukan sehingga menolak semua bentuk dominasi termasuk kekuasaan Allah. Hal ini membuat kaum pembela hak perempuan menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai pihak yang beroposisi dan juga menempatkan perempuan beroposisi dengan Allah, Sang Pencipta. Pengertian subordinasi yang tidak tepat ini mempengaruhi seluruh pandangan kaum pembela hak perempuan tentang konsep keselamatan, posisi perempuan di dalam pernikahan dan juga pelayanan gereja. Mereka menolak semua bentuk ketundukan terhadap laki-laki. Di dalam keselamatan, mereka menyempitkan pengertian pemulihan ciptaan dalam konteks terbebas dari dominasi dan penindasan laki-laki bukan menitikberatkan pada restorasi ciptaan menjadi manusia baru di dalam hubungannya dengan Allah. Di dalam melaksanakan mandat budaya, perempuan, yang mempunyai kapasitas yang sama dengan laki-laki, diberikan tugas dan tanggung jawab yang sama. Perempuan dianggap mempunyai otoritas yang sama dengan laki-laki sehingga tidak perlu tunduk terhadap otoritas laki-laki. Di dalam perannya sebagai istri, kaum pembela hak perempuan mempertanyakan peran istri sebagai penolong dan ketundukan kepada suaminya, mereka menuntut ketundukan yang saling timbal balik dan menolak kepemimpinan suami sebagai kepala istri. Di dalam pelayanan gereja, kaum feminist berargumen bahwa larangan perempuan mengajar dan memimpin itu SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 313 karena konteks yang terjadi pada saat penulisan Alkitab terjadi, dan bukan merupakan perintah yang universal karena perempuan juga harus diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengembangkan karunia yang Tuhan berikan kepadanya. Dari pembahasan ini, jelas terlihat bahwa pengertian subordinasi yang tidak tepat dengan wahyu Allah yang dikatakan di dalam Kitab Suci, berdampak besar dalam membaca dan mengerti Alkitab, terutama tentang relasi laki-laki dan perempuan ini. Secara umum, Campbell menyimpulkan feminists read Scripture through the screen of their own ideological convictions rather than reading Scripture itself. Menurut pandangan Alkitab, subordinasi tidak berarti inferioritas. Allah menempatkan perempuan di dalam subordinasi terhadap laki-laki tanpa mengurangi nilai dan kemuliaannya sebagai gambar dan rupa Allah. Perempuan tidak perlu menolak kepemimpinan laki-laki karena perempuan tetap ciptaan Allah yang setara dengan laki-laki di dalam kapasitas dan di dalam melaksanakan mandat budaya. Di dalam keluarga, Allah telah menetapkan peraturan bagi suami tentang bagaimana memperlakukan istri dengan meneladani Kristus yang mengasihi jemaat dengan tanpa syarat. Perempuan ditempatkan di bawah kepemimpinan laki-laki dengan maksud untuk dikasihi, dilindungi dan diperhatikan kesejahteraannya bahkan suami harus rela berkorban untuk istrinya sama seperti Kristus yang rela berkorban untuk menyelamatkan gereja-Nya. Cynthia M. Campbell, “Feminist Theologies and the Reformed Tradition” dalam Major Theses in the Reformed Tradition, Donald K. Mc Kim, ed. Grand Rapids William B. Eerdmans Publishing Company, 1992, 428. ... Perbincangan tentang kesetaraan gender di Indonesia sudah ada sejak tahun 1990-an. Hal ini ditandai dengan adanya gerakan feminisme di Indonesia yang menuntut agar kaum perempuan mendapatkan hak-hak yang sama di lingkungan masyarakat Gunawan, 2017. Walaupun demikian, sebagian besar orang khususnya yang tinggal di berbagai wilayah desa di Indonesia, masih salah mengartikan hal tersebut. ... Yunardi Kristian ZegaGender equality is still an interesting issue to be discussed today. Most people, especially those living in various regions in Indonesia, still misinterpret this. Gender equality is seen as an act that puts women first. In Christian circles, this thought is caused by Christian leaders in the past who gave teachings about gender who had unfair treatment between men and women. To provide a solution to these problems, the author uses qualitative research with the literature study method. The author finds that, gender is a characteristic that can be exchanged between each other and can be shared by both. Allah distinguishes the sexes but does not differentiate between the roles of the two. Thus, PAK plays a vital role in building gender understanding in the family and community, especially in the field of education, and in the field of education. AbstrakKesetaraan gender masih menjadi isu menarik untuk diperbincangkan hingga saat ini. Sebagian besar masyarakat khususnya yang tinggal di berbagai wilayah di Indonesia, masih salah mengartikan hal tersebut. Kesetaraan gender seolah-olah dianggap sebagai tindakan menomorsatukan perempuan. Dalam lingkungan Kristen, pemikiran ini disebabkan karena adanya para tokoh Kristen di masa lalu yang memberikan ajaran tentang gender yang membuahkan perlakuan tidak adil antara laki-laki dengan perempuan. Untuk memberi solusi permasalahan tersebut, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka. Penulis menemukan bahwa, gender adalah sebuah karakteristik yang dapat saling dipertukarkan antara satu sama lain dan dapat dimiliki oleh keduanya. Allah membedakan jenis kelamin manusia tetapi tidak membedakan peran antara keduanya. Dengan demikian, PAK berperan penting untuk membangun pemahaman kesetaraan gender di dalam lingkungan keluarga, masyarakat khususnya di bidang pendidikan, dan di Yosua Sualang Samgar Setia BudhiJani JaniGenesis 2 deals a lot with a description of the time, reason, manner and outcome of Genesis regarding the creation of male and female relationships, especially the second part in Genesis 218-25. The scope of the discussion 218-22 is widely discussed using contemporary issues with the lens of social, psychology and anthropology. Likewise, the issues of biblical research on its use of canonical and non-canonical texts. By using the sub-hermeneutic qualitative method Exegesis, the author finds that God's initiative for the purpose of His creation to humans can be observed through repetion parallelism stair parallelism in the scope of Genesis 218-22 “God said…,” “God formed… ,” God created…” and “God created…”. This can be observed when initiative God created a woman by observing the word image and likeness of God, so as not to emphasize the superiority and inferiority between men and women. Kejadian 2 banyak membahas suatu deskripsi waktu, alasan, cara dan hasil mengenai Kejadian penciptaan hubungan laki-laki dan perempuan, khususnya bagian kedua dalam kejadian 218-25. Lingkup pembahasan 218-22 banyak dibahas dengan menggunakan isu-isu kontemporer dengan lensa sosial, psikologi, antropologi. Begitu pun, isu-isu penelitian biblika terhadap penggunaannya terhadap teks kanonik dan non-kanonik. Dengan menggunakan metode kulitatif sub-hermeneutik Eksegesis, penulis menemukan bahwa inisiatif Allah atas tujuan ciptaanNya kepada manusia dapat diperhatikan melalui paralelisme repetisi paralelisme bertangga dalam lingkup Kejadian 218-22 “Tuhan Allah berfirman…,” “Tuhan Allah membentuk…,” Tuhan Allah membuat…” dan “Tuhan Allah menciptakan…”. Ini dapat dicermati ketika inisiatif Allah menciptakan seorang perempuan dengan mencermati kata gambar dan rupa Allah, sehingga tidak menekankan superioritas dan inferioritas antara laki-laki dan Eduard SiraitLatar belakang penelitian ini adalah ketidakmampuan pemerintah mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi warga negara Indonesia, termasuk akses dan kualitasnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kesetaraan pendidikan dari perspektif kristiani. Fokus penelitian ini berada pada percakapan dan analisis kesetaraan pendidikan. Harapannya, hasil riset ini dapat menjadi refleksi bagi institusi pendidikan Kristen untuk memikirkan kesetaraan pendidikan bagi warga gereja dan masyarakat pada umumnya. Penelitian ini memakai metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan pemikiran filosofis-teologis Kristiani. Penelitian ini melakukan studi literatur dengan pengumpulan informasi yang relevan. Hasil penelitian memperlihatkan kendala terwujudnya kesetaraan pendidikan, yaitu adanya komersialisasi pendidikan, sulitnya mencari donatur yang dermawan untuk pendidikan, rendahnya mutu sumber daya manusia dan faktor ekonomi masyarakat. Supaya dapat mewujudkan kesetaraan pendidikan tersebut maka pendidikan perlu mendapat sokongan gereja, lembaga pendidikan, melakukan pemberdayaan bagi masyarakat dan meningkatkan mutu paraktisi pendidik serta menyelenggarakan pendidikan Books of Genesis Chapters 1-17P VictorHamiltonVictor P. Hamilton, The Books of Genesis Chapters 1-17 Grand Rapids William Eerdmans Publishing Company, 1990, New Path to Liberalism?Wayne GrudemEvangelical FeminismWayne Grudem, Evangelical Feminism A New Path to Liberalism? Wheaton Crossway Books, 2006, 11. Gerejamemperhatikan dengan serius dasar-dasar ajaran agama, yaitu; tradisi, teologi dan filsafat, kitab suci serta ajaran gereja dengan pastoral lainnya. 1. Aspek Tradisi. Salah satu sumber ajaran iman dan moral Katolik adalah tradisi. Tradisi gereja masih dipengaruhi oleh budaya yang bersifat patriarkhis. Suami merupakan penguasa dalam keluarga.
Ilustrasi Ayat Alkitab tentang Menghargai Perbedaan Foto UnsplashIndonesia digolongkan sebagai negara yang kaya akan perbedaan. Mulai dari perbedaan, suku, etnis, budaya, ras, hingga agama. Karena itulah, penduduk Indonesia disebut dengan masyarakat kondisi tersebut, umat Kristen harus menghargai dan menghormati perbedaan yang ada serta menolak sikap diskriminatif. Sebagaimana diajarkan oleh Tuhan Yesus buku SBTH GPIB Edisi September 2021 oleh GPIB Indonesia, Tuhan Yesus mengajarkan umat Kristen untuk mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri, tanpa untuk menghargai perbedaan tercermin dari sejumlah ayat Alkitab. Untuk mengetahui ayatnya, mari simak ulasan di bawah Ayat Alkitab tentang Menghargai Perbedaan Foto UnsplashAyat Alkitab tentang Menghargai PerbedaanBerikut ayat Alkitab tentang menghargai perbedaan dan mengasihi sesama“Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya.”“Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.”“Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”“Tetapi yang terutama kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.”“Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci ”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, kamu berbuat baik. Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.”Ilustrasi Ayat Alkitab tentang Menghargai Perbedaan Foto Unsplash“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.”“Dan kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperti kami juga mengasihi kamu.”“Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.”“dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.”“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Sayatidak percaya bahwa pernikahan antara sesama gender merupakan suatu relasi perjanjian yang sah. Allah mengutuk praktik homoseksualitas sebagai praktik yang berdosa, sama seperti praktik perzinahan dan percabulan dan dosa-dosa seksual lain. Kalau kita kaitkan dengan ilmu pengetahuan misalnya ilmu Sains dimana dalam ilmu tersebut sangat
Pandangan Alkitab Tentang Kesetaraan Bag ... dalam Alkitab yang cenderung bersikap diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, tetapi jika kita membaca ulang teks-teks itu dengan mata yang baru,dari perspektif disabilitas, maka kita akan sadar bahwa ... 18 KESETARAAN GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM ... Dalam pandangan Islam perempuan memiliki kedudukan yang sama dibandingkan dengan laki-laki. Dari sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak mendapatkan balasan atas amal usahanya perempuan memiliki kesetaraan ... 10 KESETARAAN PRIA DAN WANITA GENDER MENURUT ALKITAB ... ayat-ayat Alkitab yang “berbicara negatif” tentang status perempuan untuk membuktikan bahwa perempuan itu berasal dari laki-laki, untuk laki- lak, sepanjang waktu bahkan kekal statusnya lebih rendah dari ... 17 Makalah Kesetaraan Gender ... Pandangan yang melihat perbedaan mendasar antara wanita dan pria dapat dibagi dalam tiga kelompok yakni kondisi bio-sosial menekankan perbedaan jenis kelamin dan berbagai konsekuensinya; pranata sosial melihat ... 26 KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM ... kembali. Pandangan kaum muslimin terhadap kaum perempuan sebagai makhluk kelas dua, pandangan- pandangan yang menjustifikasi posisi subordinat perempuan, muncul dalam banyak wacana keagamaan, yang ... 28 Parameter Kesetaraan Gender ... Gender kadang-kadang dianggap sebagai sesuatu ...adanya pandangan seperti ini menimbulkan bahkan menumbuhkan asumsi yang bias gender dan/atau diskriminatif, misalnya, bahwa perempuan terutama di ... 184 Parameter Kesetaraan Gender ... Gender kadang-kadang dianggap sebagai sesuatu ...adanya pandangan seperti ini menimbulkan bahkan menumbuhkan asumsi yang bias gender dan/atau diskriminatif, misalnya, bahwa perempuan terutama di ... 182 ppm keadilan dan kesetaraan gender ... perempuan. Dalam tradisi ini, perempuan selalu dihubungkan dengan drama kosmis, di mana Hawa dianggap terlibat di dalam kasus keluarnya Adam dari surga. Al-Qur'an yang mempunyai pandangan positif terhadap manusia, ... 10 KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTI ... Dalam ayat-ayatnya bahkan Al-qur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam, sehingga karenanya kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu prinsip al-Qur’an terhadap ... 24 Kesetaraan Gender Peran Perempuan dalam ... dengan pandangan bahwa perempuan bekerja merendahkan kaum laki-laki bergeser menjadi perempuan sebagai partner laki-laki untuk menumbuhkan relasi dalam membangun keutuhan rumah ...bentuk kesetaraan hak ... 15 KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF KRIST ... Kesetaraan gender di dalam pendidikan dan dunia kerja sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari pandangan masyarakat mengenai kesetaraan gender itu ...pemikiran gender yang ada di ... 3 Masalahkesetaraan jender akan terpusat terutama kepada bagaimana kita sebagai umat Allah dapat membedakan mengenai gambaran Deskriptif dan Perskriptif. Saat kita dapa memilah dan membedakan kedua hal tersebut kita akan dengan jelas dapat mengaitkan bahwa Alkitab dapat menjawab masalah feminisme dengan cara yang tepat. Ayat-Ayat tentang Kesetaraan Gender dalam al-Qur'an dan PenjelasannyaAyat-Ayat tentang Kesetaraan GenderAyat Alquran tentang kesetaraan gender perlu diketahui oleh setiap umat muslim sebagai salah satu panduan dalam menentukan langkah untuk mendukung adanya prinsip rahmatan lil 'alamin yang bisa dipraktikan dalam isu kesetaraan Alquran tentang Kesetaraan Gender dan PenjelasannyaNah, bagi Anda yang menaruh minat pada pembahasan satu ini, simak penjelasan selengkapnya mengenai ayat Alquran kesetaraan gender lewat artikel Ayat Alquran tentang Kesetaraan Gender dan PenjelasannyaIslam mengatur urusan manusia mulai dari konsep keimanan dan ketaqwaan, kebersihan, finansial hingga mengenai bagaimana seharusnya manusia bersikap antar dalam ajaran Islam, terdapat penjelasan mengenai habluminallah dan habluminannas. Adapun Hablumminallah memiliki makna aturan mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya Allah SWT. Sementara Hablumminannas adalah hubungan manusia dengan sesama manusia, baik sesama umat Islam ataupun dengan umat yang berbeda jaman serba modern seperti saat ini, semakin banyak umat Islam yang memiliki pemikiran kritis akan permasalahan kesetaraan gender. Berikut ayat Alquran tentang kesetaraan gender antara lain QS. Al Hujurat ayat 13Kesetaraan gender ialah bentuk perlakukan kepada manusia tanpa melihat jenis kelaminnya. Seperti yang banyak diketahui, bahwa di dunia ini masih banyak ketimpangan gender yang dapat merugikan gender surat Al Hujurat ayat 13 dikatakan, "Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal."Hal ini menegaskan bahwa penciptaan manusia menjadi beragam ras dan suku serta jenis kelamin yang berbeda tak lain, agar antar sesama manusia dapat saling mengenal tanpa menganggap diri sendiri lebih unggul dari yang ada ras, suku, jenis kelamin yang bisa dibanggakan untuk merendahkan sesama manusia karena sesungguhnya Allah SWT hanya melihat tingkat ketaqwaan umatNya tanpa mempermasalahkan apakah dia perempuan atau laki-laki atau suku dan Az-Dzariyat ayat 56Firman Allah SWT berikutnya mengenai kesetaraan gender juga terdapat dalam Qs. Az-Dzariyat56 yang berarti, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."Sudah ditegaskan dalam ayat tersebut bahwa Allah SWT menciptakan jin dan manusia tiada lain selain untuk beribadah. Hal ini menunjukkan bahwa setiap makhluk ciptaan Allah SWT memiliki tugas yang sama, yang membedakannya terletak pada tingkat ketaqwaan masing-masing dalam hal beribadah kepada Allah SWT. Tidak membeda-bedakan ras, suku dan jenis kelamin pun termasuk menjadi bagian dalam beribadah kepada Allah Al-An'am ayat 165Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Hal ini pun tercantum dalam Qs. Al-An'am 165 yang memiliki arti,"Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat derajat sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas karunia yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang." Qs. Al-An'am 165.Dalam perspektif Mubadalah, setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri, artinya setiap perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk menyuarakan aspirasinya, mewujudkan impiannya tanpa harus takut akan pendapat orang lain yang mungkin masih berprinsip patriarki dalam surat ini dijelaskan bahwa Allah SWT akan menjadikan sebagian dari sebagian yang lainnya lebih kaya, berkuasa dan sebagainya hanya untuk menguji apakah mereka bersyukur atau kufur terhadap apa yang diberikan maka adzab Allah SWT akan segera datang dan Ia Maha Pembolak-balik Keadaan, namun sekaligus Maha Pengampun bagi hamba-Nya yang bertaubat. Artinya harta, tahta, dan karunia pada praktiknya adalah ujian apakah manusia sebagai khalifah mempu mewujudkan Islam yang Rahmatan Lil'Alamin atau justru Ali Imran ayat 195Ayat Alquran tentang kesetaraan gender yang ke-5 seperti terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 195, yang berarti, "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, karena sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik." Qs. Ali-Imran 195.Dari ayat di atas tergambar jelas bahwa Allah SWT memberi pahala pada setiap umat-Nya bernilai sama, tidak akan ditambah meskipun dia laki-laki dan tidak akan dikurangi karena dia pemaparan dalam ayat Alquran tentang kesetaraan gender di atas, maka bisa diambil kesimpulan bahwa Allah SWT tidak pernah membedakan hambaNya berdasarkan jenis kelamin. Sayangnya penafsiran dengan pemahaman yang patriarki mengenai Alquran serta kebudayaan yang berkembang justru masih kerap menyudutkan dan merugikan pihak itu dia ulasan tentang Ayat Alquran tentang Kesetaraan Gender dan Penjelasannya dalam Perspektif Mubadalah. Acara Ibuku Content Creator bersama Mubadalah dapat dilihat lainnya di artikel Norma dan Realita antara Monogami dan Poligami di semoga artikel yang bekerja sama dengan dalam event ODOP ICC ini zdTUs36.